Oleh : DC Julian
Sore ini mendadak aku ada keperluan membeli tali karet ban. Pengalaman
terbaru selama lebih dari setahun tinggal di kota kecil ini. Meskipun
bukan pengalaman yang "wah", namun tetap saja aku belum pernah
melakukannya selama ini. Aku tahu keperluan ini memerlukan transportasi
yang memadai. Bisa saja aku membeli tali karet ban di warung-warung dekat
kampus, tapi toh tidak ada yang menjamin aku akan mendapatkannya. Maka
untuk mengantisipasi, sekaligus ingin memanjakan diri di kesorean hari,
kuniatkan meminjam sebuah sepeda motor.
Kebanyakan dari
teman yang memiliki sepeda motor cukup percaya dalam hal pinjam
meminjam. Ikatan hati di antara sesama teman tak memberikan kesempatan
bagi prasangka buruk untuk singgah, walaupun sekedar untuk membisikkan
"Bagaimana kalau dia berniat mencuri sepeda motormu?". Tidak pernah
terpikir seburuk itu, aku yakin sekali seperti itu. Bermodal
kepercayaan itu, aku meminjam salah satu sepeda motor yang terparkir di
dekat Sekretariat UKM.
Sebelumnya perkenalkan, namaku Ali.
Beruntung tak banyak yang menyandang nama tersebut di kampus. Berbeda
sekali ketika masih Madrasah Aliyah dulu. Masih teringat jelas ketika
wali kelas membagi-bagi jatah panggilan untuk kami bertiga (aku, Ali
ketua kelas, dan Ali Muhammad yang sama-sama dipanggil Ali). Suatu
ketika Ibu Wali memanggil Ali (saya), dan serempak Ali ketua kelas dan
Ali Muhammad menjawab lantang. Tentu mengejutkan berbagai pihak. Haha.
Sekilas terdengar lucu. Dari situlah Bu Wali berinisiatif membagi
panggilan kami menjadi sedikit berbeda. Akhirnya, yang bertahan untuk
menyandang panggilan Ali adalah diriku. Ali.
"Tapi motornya dalam
kondisi berbahaya Mas Ali?"kata Bang Gatra seraya meminjamkan kontak
motornya. Selepas itu, memasang senyum yang tak cukup sulit untuk
diartikan.
"Yo yo, tak isikan bensinnya,"kataku menjawab
senyuman palsu Bang Gatra. Barulah senyuman Bang Gatra berubah menjadi
asli, tanpa unsur-unsur kepalsuan.
Niat awal membeli tali ban
karet yang menjadi keperluan kos, namun apalah daya ketika kesempatan
baik menjumpai. Tak boleh dilewatkan, senyumam jahat mulai menyeruak.
Sesorean berkeliling mengitari kota kecil ini, diiringi kemerduan senja
sejauh mata memandang. Menyejukkan hati yang paham, nikmat Allah
Subhanahuwataala yang tiada tergantikan. Masa muda, masa sehat, dan masa
sempat.
Berkilo-kilo sudah kususuri pinggiran pantai.
Matahari pun mulai beranjak turun ke pangkuan laut. Barulah kusadari,
tak mungkin ada toko di pinggiran pantai seperti ini. Akhirnya, berbalik
arah menuju kampus untuk mencari keperluan awal. Setelah hati
terpuaskan oleh keindahan alam, keperluan pun tertunaikan (dengan
membelinya di toko dekat kampus). Tibalah saatnya menunaikan kewajiban
mengganti bensin yang telah terpakai untuk perjalanan panjang mencari
tali karet ban.
Sesampainya di pintu masuk SPBU, hanya antrian
yang kudapati. Berjajar empat berbanjar kendaraan roda dua. Dengan
wajah lelah, petugas SPBU melanjutkan pekerjaan. Saya berada di sekitar
lima belasan motor paling belakang. Masih ada empat belas motor yang
mengantri di depan saya. Padahal, banjar yang saya pilih adalah banjar
terpendek (menurut perkiraan).
Tak perlu menunggu lama,
mesin motor kumatikan. Sepersekian detik setelah itu, sebuah sepeda
motor berjenis matic berhenti tepat di banjar sebelah kanan. Namun ban
depan sepeda motor yang saya pinjam jelaslah sedikit lebih di depan
(berkat pemilihan banjar terpendek).
Aroma antrian tak pernah
menyedapkan bagiku. Tak ada keinginan di antrian SPBU ini, selain
untuk segera mengakhirinya dengan cepat. Satu menit berlalu, kejemuan
mulai menghampiri. Kejemuan itulah yang mengantarkan pandanganku
berkeliaran menyusuri aktivitas SPBU. Bapak-bapak yang memboncengi
isterinya mengantri tepat di depanku. Berjarak 20 cm di depannya
terlihat seorang mahasiswa dengan jaket Himpunan Mahasiswa berwarna
merah marun, tertulis semboyan yang nikmat dipandang. Beranjak ke banjar
selanjutnya, disebelah kanan saya ada seorang anak-anak yang mengenakan
kaos Barcellona FC. Nomor punggung 30, entahlah siapa itu.
Pandanganku berhenti seketika. Sejenak langit-langit ku penuh dengan
asap putih menyebalkan, melihat siapa seseorang yang mengantri di
belakang bocah Barcellona tadi. Seseorang dengan motor jenis matic, di
banjar sebelah kananku. Kalaulah banjar di antrianku maju, maka
seseorang ini tertinggal setengah meter dariku. Namun tak lama setelah
itu, giliran banjar mereka yang menyelesaikan satu antrian, sehingga
seseorang di samping kananku, dengan motor maticnya, balik menyusul
setengah meter.
Seseorang dengan jilbab besarnya yang biru
muda, sarung tangan bercorak tiga warna, dan kaca mata minusnya.
Seketika saya mengalihkan pandangan, kembali menatap bapak-bapak yang
membonceng isterinya di depanku.
Astaghfirullah.
Hati ini tak pernah begitu meriah seperti saat ini. Syaraf sensorik mata
mengantarkan impuls dengan resolusi paling tinggi. Sekujur tubuhku tak
mampu digerakkan. Semua persendian menjadi berdecit. Terasa kaku. Setiap
kali ada pergerakkan, seolah seluruh dunia sedang menatapku. Memaksaku
untuk bergerak sesempurna mungkin untuk menghadirkan kesan menawan. Oh
tuhan, apa yang terjadi padaku kali ini?
Jumat, 28 Maret 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
aku tunggu kedtangan novelnya kak!
BalasHapusHehe, siap Naruma Mahmud. Diusahakan ya
Hapus