Jumat, 28 Maret 2014

Cintaku Berakhir di SPBU - Part VI

Standard
Ini adalah kelas X.1. Kelas paling favorit sepanjang karirku. Kelas yang paling fenomenal untuk kukenangkan, kubanggakan, dan kucerita-ceritakan kepada seluruh penduduk bumi, bahwa aku benar-benar mencintai kelas ini. Dan kalaupun aku diberikan kesempatan berharga untuk menjadi seorang penulis terkenal seperti Habiburrahman El-Shirazy, atau Ahmad Fuadi, maka aku sangat ingin mengangkat kelas ini sebagaimana mereka mengangkat Al-Ahzar atau pondok pesantren Gontor dalam cerita mereka. Hmm, tapi apalah daya ini, menulispun masih terbata-bata. Menyusun kata-kata seperti permainan puzzle yang yang tak pernah selesai. Tulisanku jelek! Ya, itulah penilaianku terhadap diriku sendiri. Aku begitu tidak menghormati tulisanku sendiri. Jangankan menghormati, untuk meliriknya saja sudah minder. Inilah mengapa aku lebih sering membanggakan tulisan orang lain ketimbang tulisanku sendiri.



Ketidakpandaian dalam menulis adalah akibat dari ketidaksukaanku membaca. Aku, seperti orang-orang lain, terjangkit virus ngantuk ketika membaca. Dan akupun bangga dengan itu! Haha, betapa memalukannya diriku ini. Tidak hobi membaca sampai dibangga-banggakan. Aku sampai pernah suatu hari mengatakan kepada teman-teman, :Ahh, aku ini, kalau membaca buku langsung kepikiran bantal! hahaha". Tidak hanya itu, pernah juga terucap "Daripada membaca buku yang gak penting itu, mending aku disuruh manjat kelapa aja deh"

Aku tidak malu dengan itu. Bagaimana mungkin aku malu, karena pada kenyataannya memang banyak kok orang-orang yang berspesies sama sepertiku. Membanggakan diri atas kebenciannya terhadap buku.

Bah! Kebencianku terhadap aktivitas membaca ini, ternyata belumlah cukup masuk diakal. Tidak ada logika untuk menyederhanakan cinta. Aku dibuat bingung tak keruan olehnya. Inilah awal yang akan membuatmu berubah seratus delapan puluh tujuh derajat. Kalian tahu maksudku kan?

Ada satu anak yang seolah harinya terisi dengan tumpukan buku saja. Dia yang berjilbab putih, menyesuaikan dengan seragam hari senin-selasa (abu-abu putih). Suatu ketika, aku penasaran untuk memperhatikannya lebih jauh. Saat itu, tak ada rasa apapun, tak ada maksud dan tujuan apapaun selain hanya untuk memperhatikan kebiasaaannya yang unik. Buku bukan hanya sebagai teman di saat duduk, tetapi hampir di setiap tempat.

Dari bangku terjauh di kelas, kududuk menghadap samping. Tak ada guru kala itu, memang jam istirahat. Teman-teman lain memilih untuk mengisi perut-perut mereka dengan lemak goreng. Eh, bakwan ding namanya. Aku menyengajakan diri untuk tinggal di kelas. Serasa malas. Di kelas tersisa diriku, perempuan yang hobi membaca itu, dan beberapa teman lain yang belum cukup kuakrabi sampai detik ini. Ah, apalah peduliku dengan teman-teman lain. Saat ini fokusku adalah memperhatikan gerak-gerik dari siswi yang menyandang nama Fatimah itu. Bukan berarti aku mengaguminya, bukan seperti itu. Dalam hati ini, aku selalu membentengi diri dengan alasan-alasan buatan untuk meyakinkan diri bahwa aku ini keren. Haha. Karenanya, tak mungkinlah aku langsung bisa menyukai perempuan dalam hal sekejap saja. Prinsip seorang laki-laki sejati tidak akan mudah untuk memberikan kepercayaannya. Tapi ketika sampai kesempatan itu, tidak boleh ada keraguan. Hidup adalah jaminan hanya untuk meyakinkan bahwa dirinya harus dalam kondisi terbaik.
Ah, bicara ngawur aku ini. Inilah efek karena telah memperhatikannya dalam beberapa waktu.
Perempuan dengan aktivitas membaca itu (Fatimah) ada di barisan terbelakang, arah jam 10. Jelas saja aku tak langsung mengarahkan pandangan ke tempatnya duduk. Tapi jadilah itu, aku tetap bisa melirikkan mataku untuk mendapatkan bayangannya.

Sekejap saja.

Lirikkanku berbuah maut. Tak sengaja matanya mengarah tepat ke arahku. Sepertinya lirik-lirikanku sedari tadi disadari oleh perempuan itu. Aduh, salah tingkah jadinya. Aku segera melepaskan lirikan yang memperhatikannya. Karena masih merasa tak aman, aku hadapkan tubuhku kedepan seperti biasa. Semoga dengan ini ia tak menaruh curiga.

Astaga, kaki dan tanganku kelu. Jantungku berdegup lebih dahsyat dari sebelumnya. Adrenalin terpacu dengan begitu cepatnya. Seolah aku telah berani-beraninya membuka kandang singa. Aku merasa begitu berdosa atas perbuatanku. Perempuan yang baik-baik itu sepertinya merasa risih diperhatikan oleh laki-laki asing yang jelas bukan siapa-siapa, dan bukan apa-apa.

“Maaf, Ali. Hobi membaca tidak?”tanya Fatimah yang mendekatiku.
“Eh? Maksudnya?”
“Ini, saya ada buku bagus. Baru saja saya selesai membacanya. Bagus, sangat menginspirasi. Dan saya rasa buku ini juga cocok untukmu.”
Aku sedikit gugup dibuatnya. Ternyata dirinya tidak menyadari sedari tadi kuperhatikan. Untunglah. Kalau Fatimah tahu, bisa malu besar aku. Huhhh. Aku menghela nafas sebentar.

“Oh, membaca itu ya? Hobi banget aku. He” Astaga, aku keceplosan untuk berbohong.
“Wah, sudah aku duga. Makanya aku pinjami buku ini.” Dirinya hanya tersenyum dan meletakkan buku itu di atas mejaku.
“Iya lah. Banyak kok yang sudah aku baca.” Arrg!!! Tidak! Kenapa dengan mulutku ini, aku tidak bisa berhenti bersandiwara. Sudah dua kali ini aku membohonginya. Astaga.
“Iya kah? Wah, buku apa yang paling disukai?”
Mampus. Ini detik-detik kekalahanku. Aku sudah memutuskan untuk berbohong demi membuatnya tertarik, terpikat, terjerat, tapi yang ada inilah jadinya. Mana mungkin aku hobi membaca? Dan sekarang dia menghunuskan pedang ke arahku sendiri dengan pertanyaan yang mematikan.
“Buku apa?”tanyanya diulangi, melihatku tak menjawab dan terlihat gugup.
“Heh, hhehe.” Aku hanya tertawa. Otakku berusaha sekuat mungkin untuk mencari semua informasi tentang buku. Tapi hasilnya , nihil. File tidak ditemukan! Astaga, semalas inikah aku membaca buku?
“Pasti banyak banget ya sampe bingun pilih mana yang bagus,”lanjutnya memutus kebuntuan diriku.
“Hehe, bisa jadi.” Aku hanya bisa cengar-cengir dibuatnya. Selepas itu, dia meninggalkanku dengan bukunya sendirian. Entahlah, alasan apa yang membuatnya sampai memberikan pinjaman buku secara mendadak seperti ini. Aku tak tahu secara pasti? Tapi pikiranku mulai dikacaukan dengan pengharapan-pengharapan. Astaga. Alih-alih dirinya kubuat terjerat, justru dirikulah yang lebih awal terjatuh. Terjatuh dalam pengharapan yang lebih instan dari merebus mie instan. Secepat itulah hati berbicara. Secepat itu, secara mandiri pikiranku merajut harapan-harapan setinggi angkasa. Dalam sekejap itulah, benih-benih perasaan mulai mengacaukan logika. Pertatapan yang tak lebih lama dari iklan shampo itupun merubah konsepku mengenai buku. Aku begitu mencintainya, buku. Apapun modus di balik itu, aku yakin secara yakin bahwa aku akan mencintai buku lebih dari siapapun. Kalaupun boleh kudeklamasikan, aku ingin menjadi penulis terkenal sepanjang masa hanya untuk membuktikan bahwa diriku mencintai buku lebih dari cintanya perempuan tadi terhadap buku-buku. Apapun modus di balik itu, aku tak peduli. Aku hanya peduli bahwa aku harus merubah diriku untuk mencintai buku. Mulai sekarang!

Begitulah cinta. Sebenarnya aku kurang sepakat dengan istilah tak pernah ada logika di dalamnya. Cinta haruslah didasari dengan pemahaman yang benar, pemikiran yang jernih, dan kepekaan yang tajam. Tak boleh hanya dilampiaskan tanpa logis. Tapi apa yang aku rasakan sekarang ini seolah membantah pendapatku sendiri. Aku yang tak pernah mencintai buku menjadi begitu semangatnya untuk memasuki kehidupan penuh tulisan ini. Aneh. Ya kan? Aneh sekali.

Aku tak tahu apakah aku dilanda cinta. Atau aku sekedar mengharap-harap sesuatu yang tak jelas. Perasaan ini semakin lama semakin menusuk saja. Seandainya aku tahu akan sesakit ini, aku tak pernah ingin merasakannya. Begitu sakit menusuk. Nyeri dipersendian jantung hati. Aduhay, apalah obat yang mampu menyembuhkan sesak yang tak pernah henti ini.

Hari demi hari, kutenggalamkan penuh hidupku untuk membaca novel-novel populer. Aku mulai memiliki banyak wawasan tentang buku. Wawasan inilah yang bisa menjadi modal utama untuk mengobrol dengan Fatimah. Kau pasti tahu kan? Akan sangat seru membahas buku sama yang pernah dibaca. Aku tahu seharusnya sudah dari dulu kubaca buku.

Seru sekali, perbincangan demi perbincangan ini membuatku begitu bahagia. Aku dapat berdiskusi untuk membahas tokoh-tokoh novel. Seru ketika novel yang menjadi topik pembicaraan bertema fantasi. Sedih ketika novel yang dibahas bernuansa pilu. Tapi yang paling aku sukai adalah novel yang bertema cinta. Haha. Khusus untuk pembahasan tema ini pasti membuat kami canggung.

Begitulah aku habiskan bulan-bulanku di kelas X. Semakin bertambah usia, semakin banyak buku yang kuselami, semakin banyak perbincangan mengenai buku, dan yang kukhawatirkan, semakin dalam aku mengharapkannya. Astaga. Bagian terakhir itulah yang tidak kusadari akan menjadi bom waktu. Aku terjerat dalam harapan yang tak logis, bahwa aku akan bisa selamanya seperti ini. Bom waktu itupun semakin berkurang detik-demi-detik. Menuju titik ledak yang akan membumihanguskan perasaan.
Harapan yang mulai mengendap menjadi kristal-kristal perasaan. Aku tak peduli apapun itu. Yang lebih tidak aku pedulikan adalah kenyataan. Aku semakin dalam terjerat dalam harapan ini, sampai tak sadar bahwa aku tidak bisa selamanya seperti ini. Pasti akan tiba suatu masa yang menjadi ledakan. Aku tidak siap akan hal itu. Tapi kau tahu teman? Bom tidak pernah menanyakan terlebih dahulu apakah kau siap atau tidak. Sampai saat itu datang. Kejadian yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Peristiwa yang menghancurkan alur cerita ini, kisah yang sudah berjalan begitu indahnya, mulus tanpa hambatan suatu apapun, kini tiba di checkpoint terakhir. Milestone yang menjadi tonggak sejarah. Maka tak ada pilihan bagiku, selain menghadapinya atau menghadapinya dengan realistis.
Hari itu, aku sudah menginjak kelas XI. Lama sudah kebersamaan ini terjalin. Tapi kami cukup sadar untuk membatasi diri tanpa sebuah status atau embel-embel. Tak lain ini adalah hasil jerih payah para guru di Madrasah Aliyah yang begitu open menasehati kami-kami untuk tidak mencemplungkan diri dalam pergaulan pacaran.
Hari itu, aku sudah begitu banyak membaca buku. Tak pernah terpikir akan seperti ini hidupku. Hari itu, sudah banyak pula novel yang kami bahas bertiga, berempat, dengan teman-teman lain. Jarang sekali kami membahas berdua saja, setidaknya itu akan mengurangi efek media massa yang akan menggosip. Maklumlah, teman-teman sekelasku banyak yang berbakat menjadi host infotainment, mengungkap aib-aib teman sendiri untuk mendapatkan tawa yang memuaskan. Naudzubillah.

Hari itu, aku duduk sendiri di bangku kelas IPA.
Memegang buku yang tak pernah aku duga sebelumnya. Buku “Tepat Waktu” sebuah novel yang menginspirasi kita untuk datang tepat waktu, menghargainya walau hanya sedetik. Beberapa hari yang lalu, Fatimah meminjamkan buku itu kepadaku. Sebenarnya tidak meminjamkan juga, karena aku sedikit memaksa untuk diperbolehkan meminjam. Hehe.
Dengan berat hati, ia meminjamkan buku itu sebagaimana ia telah meminjamkan banyak buku yang lain. Sesuai tradisi, kami akan membahas dan membedah buku itu sebedah-bedahnya untuk mendapatkan hikmah yang sebanyak-banyaknya.
Hari itu, aku duduk sendiri di bangku kelas IPA. Memegang buku yang baru saja kuhabiskan ceritanya. Tak sabar menantikan kedatangan mitra kerja untuk membedah buku itu. Siapa lagi kalau bukan Fatimah? Ya. Aku mengharapkan kehadirannya di hari itu. Buku ini begitu menginspirasi kami untuk dibedah bersama teman-teman lain.

Tapi, di hari itu. Penantianku tak kunjung berakhir. Aku mulai cemas, tak pernah secemas ini. Astaga, pastilah kristal harapan yang mengendap di relung hatiku ini sudah sangat akut. Menghambat peredaran darah, menghambat laju pernafasan, dan menyesakkan setiap detak jantung.
Tapi di hari itu, aku seolah kehilangan seseorang yang melengkapi alur cerita ini. Di mana dia?

0 komentar:

Posting Komentar