Ini
adalah kelas X.1. Kelas paling favorit sepanjang karirku. Kelas yang
paling fenomenal untuk kukenangkan, kubanggakan, dan kucerita-ceritakan
kepada seluruh penduduk bumi, bahwa aku benar-benar mencintai kelas ini.
Dan kalaupun aku diberikan kesempatan berharga untuk menjadi seorang
penulis terkenal seperti Habiburrahman El-Shirazy, atau Ahmad Fuadi,
maka aku sangat ingin mengangkat kelas ini sebagaimana mereka mengangkat
Al-Ahzar atau pondok pesantren Gontor dalam cerita mereka. Hmm, tapi
apalah daya ini, menulispun masih terbata-bata. Menyusun kata-kata
seperti permainan puzzle yang yang tak pernah selesai. Tulisanku jelek!
Ya, itulah penilaianku terhadap diriku sendiri. Aku begitu tidak
menghormati tulisanku sendiri. Jangankan menghormati, untuk meliriknya
saja sudah minder. Inilah mengapa aku lebih sering membanggakan tulisan
orang lain ketimbang tulisanku sendiri.
Ketidakpandaian dalam
menulis adalah akibat dari ketidaksukaanku membaca. Aku, seperti
orang-orang lain, terjangkit virus ngantuk ketika membaca. Dan akupun
bangga dengan itu! Haha, betapa memalukannya diriku ini. Tidak hobi
membaca sampai dibangga-banggakan. Aku sampai pernah suatu hari
mengatakan kepada teman-teman, :Ahh, aku ini, kalau membaca buku
langsung kepikiran bantal! hahaha". Tidak hanya itu, pernah juga terucap
"Daripada membaca buku yang gak penting itu, mending aku disuruh manjat
kelapa aja deh"
Aku tidak malu dengan itu. Bagaimana mungkin
aku malu, karena pada kenyataannya memang banyak kok orang-orang yang
berspesies sama sepertiku. Membanggakan diri atas kebenciannya terhadap
buku.
Bah! Kebencianku terhadap aktivitas membaca ini, ternyata
belumlah cukup masuk diakal. Tidak ada logika untuk menyederhanakan
cinta. Aku dibuat bingung tak keruan olehnya. Inilah awal yang akan
membuatmu berubah seratus delapan puluh tujuh derajat. Kalian tahu
maksudku kan?
Ada satu anak yang seolah harinya terisi dengan
tumpukan buku saja. Dia yang berjilbab putih, menyesuaikan dengan
seragam hari senin-selasa (abu-abu putih). Suatu ketika, aku penasaran
untuk memperhatikannya lebih jauh. Saat itu, tak ada rasa apapun, tak
ada maksud dan tujuan apapaun selain hanya untuk memperhatikan
kebiasaaannya yang unik. Buku bukan hanya sebagai teman di saat duduk,
tetapi hampir di setiap tempat.
Dari bangku terjauh di kelas,
kududuk menghadap samping. Tak ada guru kala itu, memang jam istirahat.
Teman-teman lain memilih untuk mengisi perut-perut mereka dengan lemak
goreng. Eh, bakwan ding namanya. Aku menyengajakan diri untuk tinggal di
kelas. Serasa malas. Di kelas tersisa diriku, perempuan yang hobi
membaca itu, dan beberapa teman lain yang belum cukup kuakrabi sampai
detik ini. Ah, apalah peduliku dengan teman-teman lain. Saat ini fokusku
adalah memperhatikan gerak-gerik dari siswi yang menyandang nama
Fatimah itu. Bukan berarti aku mengaguminya, bukan seperti itu. Dalam
hati ini, aku selalu membentengi diri dengan alasan-alasan buatan untuk
meyakinkan diri bahwa aku ini keren. Haha. Karenanya, tak mungkinlah aku
langsung bisa menyukai perempuan dalam hal sekejap saja. Prinsip
seorang laki-laki sejati tidak akan mudah untuk memberikan
kepercayaannya. Tapi ketika sampai kesempatan itu, tidak boleh ada
keraguan. Hidup adalah jaminan hanya untuk meyakinkan bahwa dirinya
harus dalam kondisi terbaik.
Ah, bicara ngawur aku ini. Inilah efek karena telah memperhatikannya dalam beberapa waktu.
Perempuan dengan aktivitas membaca itu (Fatimah) ada di barisan
terbelakang, arah jam 10. Jelas saja aku tak langsung mengarahkan
pandangan ke tempatnya duduk. Tapi jadilah itu, aku tetap bisa
melirikkan mataku untuk mendapatkan bayangannya.
Sekejap saja.
Lirikkanku berbuah maut. Tak sengaja matanya mengarah tepat ke arahku.
Sepertinya lirik-lirikanku sedari tadi disadari oleh perempuan itu.
Aduh, salah tingkah jadinya. Aku segera melepaskan lirikan yang
memperhatikannya. Karena masih merasa tak aman, aku hadapkan tubuhku
kedepan seperti biasa. Semoga dengan ini ia tak menaruh curiga.
Astaga, kaki dan tanganku kelu. Jantungku berdegup lebih dahsyat dari
sebelumnya. Adrenalin terpacu dengan begitu cepatnya. Seolah aku telah
berani-beraninya membuka kandang singa. Aku merasa begitu berdosa atas
perbuatanku. Perempuan yang baik-baik itu sepertinya merasa risih
diperhatikan oleh laki-laki asing yang jelas bukan siapa-siapa, dan
bukan apa-apa.
“Maaf, Ali. Hobi membaca tidak?”tanya Fatimah yang mendekatiku.
“Eh? Maksudnya?”
“Ini, saya ada buku bagus. Baru saja saya selesai membacanya. Bagus,
sangat menginspirasi. Dan saya rasa buku ini juga cocok untukmu.”
Aku sedikit gugup dibuatnya. Ternyata dirinya tidak menyadari sedari
tadi kuperhatikan. Untunglah. Kalau Fatimah tahu, bisa malu besar aku.
Huhhh. Aku menghela nafas sebentar.
“Oh, membaca itu ya? Hobi banget aku. He” Astaga, aku keceplosan untuk berbohong.
“Wah, sudah aku duga. Makanya aku pinjami buku ini.” Dirinya hanya tersenyum dan meletakkan buku itu di atas mejaku.
“Iya lah. Banyak kok yang sudah aku baca.” Arrg!!! Tidak! Kenapa dengan
mulutku ini, aku tidak bisa berhenti bersandiwara. Sudah dua kali ini
aku membohonginya. Astaga.
“Iya kah? Wah, buku apa yang paling disukai?”
Mampus. Ini detik-detik kekalahanku. Aku sudah memutuskan untuk
berbohong demi membuatnya tertarik, terpikat, terjerat, tapi yang ada
inilah jadinya. Mana mungkin aku hobi membaca? Dan sekarang dia
menghunuskan pedang ke arahku sendiri dengan pertanyaan yang mematikan.
“Buku apa?”tanyanya diulangi, melihatku tak menjawab dan terlihat gugup.
“Heh, hhehe.” Aku hanya tertawa. Otakku berusaha sekuat mungkin untuk
mencari semua informasi tentang buku. Tapi hasilnya , nihil. File tidak
ditemukan! Astaga, semalas inikah aku membaca buku?
“Pasti banyak banget ya sampe bingun pilih mana yang bagus,”lanjutnya memutus kebuntuan diriku.
“Hehe, bisa jadi.” Aku hanya bisa cengar-cengir dibuatnya. Selepas itu,
dia meninggalkanku dengan bukunya sendirian. Entahlah, alasan apa yang
membuatnya sampai memberikan pinjaman buku secara mendadak seperti ini.
Aku tak tahu secara pasti? Tapi pikiranku mulai dikacaukan dengan
pengharapan-pengharapan. Astaga. Alih-alih dirinya kubuat terjerat,
justru dirikulah yang lebih awal terjatuh. Terjatuh dalam pengharapan
yang lebih instan dari merebus mie instan. Secepat itulah hati
berbicara. Secepat itu, secara mandiri pikiranku merajut harapan-harapan
setinggi angkasa. Dalam sekejap itulah, benih-benih perasaan mulai
mengacaukan logika. Pertatapan yang tak lebih lama dari iklan shampo
itupun merubah konsepku mengenai buku. Aku begitu mencintainya, buku.
Apapun modus di balik itu, aku yakin secara yakin bahwa aku akan
mencintai buku lebih dari siapapun. Kalaupun boleh kudeklamasikan, aku
ingin menjadi penulis terkenal sepanjang masa hanya untuk membuktikan
bahwa diriku mencintai buku lebih dari cintanya perempuan tadi terhadap
buku-buku. Apapun modus di balik itu, aku tak peduli. Aku hanya peduli
bahwa aku harus merubah diriku untuk mencintai buku. Mulai sekarang!
Begitulah cinta. Sebenarnya aku kurang sepakat dengan istilah tak
pernah ada logika di dalamnya. Cinta haruslah didasari dengan pemahaman
yang benar, pemikiran yang jernih, dan kepekaan yang tajam. Tak boleh
hanya dilampiaskan tanpa logis. Tapi apa yang aku rasakan sekarang ini
seolah membantah pendapatku sendiri. Aku yang tak pernah mencintai buku
menjadi begitu semangatnya untuk memasuki kehidupan penuh tulisan ini.
Aneh. Ya kan? Aneh sekali.
Aku tak tahu apakah aku dilanda
cinta. Atau aku sekedar mengharap-harap sesuatu yang tak jelas. Perasaan
ini semakin lama semakin menusuk saja. Seandainya aku tahu akan sesakit
ini, aku tak pernah ingin merasakannya. Begitu sakit menusuk. Nyeri
dipersendian jantung hati. Aduhay, apalah obat yang mampu menyembuhkan
sesak yang tak pernah henti ini.
Hari demi hari,
kutenggalamkan penuh hidupku untuk membaca novel-novel populer. Aku
mulai memiliki banyak wawasan tentang buku. Wawasan inilah yang bisa
menjadi modal utama untuk mengobrol dengan Fatimah. Kau pasti tahu kan?
Akan sangat seru membahas buku sama yang pernah dibaca. Aku tahu
seharusnya sudah dari dulu kubaca buku.
Seru sekali,
perbincangan demi perbincangan ini membuatku begitu bahagia. Aku dapat
berdiskusi untuk membahas tokoh-tokoh novel. Seru ketika novel yang
menjadi topik pembicaraan bertema fantasi. Sedih ketika novel yang
dibahas bernuansa pilu. Tapi yang paling aku sukai adalah novel yang
bertema cinta. Haha. Khusus untuk pembahasan tema ini pasti membuat kami
canggung.
Begitulah aku habiskan bulan-bulanku di kelas X.
Semakin bertambah usia, semakin banyak buku yang kuselami, semakin
banyak perbincangan mengenai buku, dan yang kukhawatirkan, semakin dalam
aku mengharapkannya. Astaga. Bagian terakhir itulah yang tidak kusadari
akan menjadi bom waktu. Aku terjerat dalam harapan yang tak logis,
bahwa aku akan bisa selamanya seperti ini. Bom waktu itupun semakin
berkurang detik-demi-detik. Menuju titik ledak yang akan
membumihanguskan perasaan.
Harapan yang mulai mengendap menjadi
kristal-kristal perasaan. Aku tak peduli apapun itu. Yang lebih tidak
aku pedulikan adalah kenyataan. Aku semakin dalam terjerat dalam harapan
ini, sampai tak sadar bahwa aku tidak bisa selamanya seperti ini. Pasti
akan tiba suatu masa yang menjadi ledakan. Aku tidak siap akan hal itu.
Tapi kau tahu teman? Bom tidak pernah menanyakan terlebih dahulu apakah
kau siap atau tidak. Sampai saat itu datang. Kejadian yang tak pernah
aku bayangkan sebelumnya. Peristiwa yang menghancurkan alur cerita ini,
kisah yang sudah berjalan begitu indahnya, mulus tanpa hambatan suatu
apapun, kini tiba di checkpoint terakhir. Milestone yang menjadi tonggak
sejarah. Maka tak ada pilihan bagiku, selain menghadapinya atau
menghadapinya dengan realistis.
Hari itu, aku sudah menginjak kelas
XI. Lama sudah kebersamaan ini terjalin. Tapi kami cukup sadar untuk
membatasi diri tanpa sebuah status atau embel-embel. Tak lain ini adalah
hasil jerih payah para guru di Madrasah Aliyah yang begitu open
menasehati kami-kami untuk tidak mencemplungkan diri dalam pergaulan
pacaran.
Hari itu, aku sudah begitu banyak membaca buku. Tak pernah
terpikir akan seperti ini hidupku. Hari itu, sudah banyak pula novel
yang kami bahas bertiga, berempat, dengan teman-teman lain. Jarang
sekali kami membahas berdua saja, setidaknya itu akan mengurangi efek
media massa yang akan menggosip. Maklumlah, teman-teman sekelasku banyak
yang berbakat menjadi host infotainment, mengungkap aib-aib teman
sendiri untuk mendapatkan tawa yang memuaskan. Naudzubillah.
Hari itu, aku duduk sendiri di bangku kelas IPA.
Memegang buku yang tak pernah aku duga sebelumnya. Buku “Tepat Waktu”
sebuah novel yang menginspirasi kita untuk datang tepat waktu,
menghargainya walau hanya sedetik. Beberapa hari yang lalu, Fatimah
meminjamkan buku itu kepadaku. Sebenarnya tidak meminjamkan juga, karena
aku sedikit memaksa untuk diperbolehkan meminjam. Hehe.
Dengan
berat hati, ia meminjamkan buku itu sebagaimana ia telah meminjamkan
banyak buku yang lain. Sesuai tradisi, kami akan membahas dan membedah
buku itu sebedah-bedahnya untuk mendapatkan hikmah yang
sebanyak-banyaknya.
Hari itu, aku duduk sendiri di bangku kelas IPA.
Memegang buku yang baru saja kuhabiskan ceritanya. Tak sabar menantikan
kedatangan mitra kerja untuk membedah buku itu. Siapa lagi kalau bukan
Fatimah? Ya. Aku mengharapkan kehadirannya di hari itu. Buku ini begitu
menginspirasi kami untuk dibedah bersama teman-teman lain.
Tapi, di hari itu. Penantianku tak kunjung berakhir. Aku mulai cemas,
tak pernah secemas ini. Astaga, pastilah kristal harapan yang mengendap
di relung hatiku ini sudah sangat akut. Menghambat peredaran darah,
menghambat laju pernafasan, dan menyesakkan setiap detak jantung.
Tapi di hari itu, aku seolah kehilangan seseorang yang melengkapi alur cerita ini. Di mana dia?
Jumat, 28 Maret 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar