Jumat, 28 Maret 2014

Cintaku Berakhir di SPBU - Part IV

Standard
Aku dihadapkan dalam kebimbangan yang begitu besar. Andaikan saja teman-teman ada yang bisa memberikan saran, maka apa kira-kira saran dari mereka ya? Apakah aku harus mengikuti Fatimah? Karena mungkin ini adalah kesempatan terakhir? Tapi, aku tidak enak dengan Bang Gatra? Dia sudah menungguku terlalu lama. Padahal izinku meminjam motor tadi hanya untuk membeli tali karet ban di sekitaran kampus. Astaga. 



Semakin lama aku berpikir, semakin jauh pula jarak kepergian Fatimah. Dia melaju tidak terlalu cepat memang, aku perkirakan kalau itu bukan matic, baru menginjak gigi kedua. Tapi aku yang hanya terdiam jelas tak dapat menghasilkan solusi apapun. Pikiranku yang rumit mendadak dihentikan oleh getaran. Tiba-tiba saja handphoneku kembali bergetar, disusul dengan nada dering yang paling aku sukai, “Toreroreng...!!! Toreroreng!!!”
Ternyata Bang Gatra kembali memanggilku. Sepertinya inilah alasan terkuatku. Kehadiran mesin yang aku tunggangi ini telah dinantikan oleh yang empunya motor. Aku urung mengangkatnya, agar si penelepon yang tidak lain adalah Bang Gatra berpikir aku sedang di perjalanan. Aku benar-benar tidak menjawab telepon, supaya Bang Gatra berpikir aku sedang menuju ke tempatnya. Aku biarkan nada dering itu berlalu, tanpa harus di-reject.
Fatimah kian menjauh.
Inilah akhirnya, harus kusudahi. Gadis berkerudung syari dengan warna biru muda itu sudah berbelok ke jalan raya, keluar dari lingkungan SPBU. Akankah kisahku berakhir di SPBU ini? Kalaulah suratan kami akan bertemu kembali, tak akan ada yang sanggup menghalangi pertemuan kami. Namun, jika takdir berkata inilah perjumpaan terakhir, sebesar apapun usaha takkan mampu mempertemukan kami.
Nada dering panggilan dari Bang Gatra telah usai. Menyisakan laporan dilayar handphone bertuliskan “1 panggilan tak terjawab”. Aku harus menepati janji, tidak enak sudah lama dinanti.
Perlahan kukendarai motor yang baru saja diisi ulang tenaganya itu. Keluar dari lingkungan SPBU, masuk ke jalan raya provinsi. Tiba-tiba saja aku merasa ada yang aneh. Aku baru sadar ada sesuatu yang aneh. Aku pikir dengan keras, apa sebenarnya yang mengganjal.
Ternyata betul. Kenapa tidak terpikir sejak tadi? Astaga. Ternyata Fatimah tadi berbelok ke arah yang sama dengan jalan pulang menuju kampus. Dan aku biarkan ia pergi begitu saja. Aku baru sadar. Dia jelas-jelas berbelok ke arah kanan, yang artinya ke arah yang sama denganku. Menyesal sekali baru sadar sekarang. Setelah cukup menyesali kesadaran yang terlambat itu, segera kupacu motor Bang Gatra untuk mengejar ketertinggalanku dari Fatimah. Jarak kami terhitung belasan detik sudah. Kalau ini dalam persaingan Moto GP, jelas sudah kelewat jauh. Beda sepersekian detik saja menghasilkan jarak yang nyata. Tetapi beruntunglah, ini bukan pacuan Moto GP. Baru sekelas bebek.
Dengan lihai, aku balap dua motor di depanku, setelah sebelumnya aku pamit kepada orang tersebut. Ternyata salah satu pengendaranya adalah bapak-bapak yang memboncengi isterinya di SPBU tadi. Aku hanya tersenyum singkat, merasakan betapa peristiwa-peristiwa yang baru saja kulalaui ini begitu menakjubkan. Seperti cerita-cerita di film, novel, atau cerita-cerita bersambung saja. Haha.
Aku kembali serius dengan kemudi. Ada dua pengendara motor lagi di depan. Aku bisa melihat pengemudi berkerudung biru muda di depan. Ia benar-benar mengarah ke pintu masuk universitas. Ini kesempatan.
Satu detik, dua detik.
Aku berhasil memperkecil ketertinggalan. Jarak diantara kami hanya belasan meter saja. Kami hampir sampai ke pintu gerbang universitas, dengan posisi sementara Fatimah unggul 2,3 detik di depanku.
“Tiiin!”kembali ku pencet tombol berlambang terompet untuk izin membalap sepeda motor di depanku.
Lima puluh meter lagi! Kami hampir sampai. Dan akhirnya, aku mengurangi kecepatan. Perlahan. Semakin lamban, dan berhenti. Tepat di pertigaan gerbang universitas. Aku berhenti. Gundah. Fatimah ternyata melaju terus. Sedangkan aku berada di titik puncak sebuah pilihan. Kalau aku mengikutinya lagi, maka perjalananku mengembalikan motor pasti akan berakhir. Sedangkan jika aku memilih mengembalikan motor, Fatimah kian memperjauh jarak kami. Semakin jauh!
Dalam berhentiku, Fatimah terlihat memacu maticnya tanpa ragu.
Sejenak aku berpikir, tidak ada lagi keajaiban. Tinggal kebuntuan yang mengharuskanku menentukan pilihan. Di detik-detik yang sunyi itu, sebuah suara menggetarkan celanaku. Oh, ternyata handphoneku berdering. Sebuah gelombang suara yang memberikan peringatan. Tapi kali ini berbeda. Bukan lagunya Electric Light Orcestra, "Twillight". Karena lagu itu hanya diperuntukkan sebagai peringatan panggilan. Sedangkan kali ini musik yang berputar adalah Owl City dengan Vanilla Twillight-nya. Nada peringatan untuk pesan.
Sebuah pesan yang hanya kuketahui pengirimnya. Malas membuka. Pesan dari Bang Gatra. Nampaknya ia tak puas dengan miss call-nya. Sebuah pesan terkirim untuk memperingatiku lebih keras. Sebenarnya malas untuk membaca. Karena mau diperingati atau tidak, aku tetap mengembalikan motor. Ini pilihan terakhir, sebab Fatimah pun telah jauh tenggelam di balik tikungan. Maticnya menghilang ditelan jarak. Tak sempat lagi mengejar. Karenanya, tak perlu diingatkan lagi untuk pulang, aku pasti akan pulang.
Kupacu ulang motor Bang Gatra mengarah ke kampus. Jalanan di kampus ini cukup menyenangkan. Rindang dengan pepohonan, nyaman dengan pemandangan. Apalagi di kesorean hari, semakin menambah suasana sepi. Kususuri aspal menuju ke Sekretariat UKM, tempat dimana aku harus mengembalikan motor. Tempat yang juga berdampingan dengan Masjid Universitas.
Hari ini lumayan menyenangkan bukan? Aku bertemu dengan perempuan dari masa lalu. Hadir dengan keteguhan hati dan keterjagaan diri. Begitu nyata mengemban hikmah kalam ilahi. Sekali lagi ingin kutegaskan, bahwa dirinya benar-benar layak mendapatkan pemimpin terbaik. Tidak sepertiku.
Astaga. Aku mulai lebai. Berharap-harap yang tidak-tidak. Mengandai-andai yang bukan-bukan. Tapi dari kelebaian itu, aku belajar merangkai makna.
Tak butuh waktu lama, sampailah aku di Masjid Universitas. Sekitar dua jam yang lalu, aku meminjam motor Bang Gatra disini. Murni dengan niat membeli tali karet ban, aku yakinkan Bang Gatra untuk pengisian bensin. Hah, waktu begitu cepat berlalu. Keindahan yang tak terduga sebelumnya, menghampiriku dengan begitu nyata. Antrian SPBU yang mempertemukanku dengan perempuan dari masa lalu. Antrian SPBU yang membuatku dibentak pemuda berwajah sangar. Antrian SPBU yang tak memberi kesempatan untuk sekedar membalas sapaan. Antrian SPBU benar-benar memberikan cerita berkesan padaku hari ini.
Tapi demi tertepatinya sebuah janji, aku merelakannya pergi. Tanpa satu buah pertanyaan pun yang kusampaikan. Apa kabarnya selama ini? Ada apa ia sampai di kota ini? Semuanya sudah mengendap, tak tertuang.
Setelah mengunci stang motor, aku bergegas menuju Sekretariat UKM untuk menemui Bang Gatra. Dua tiga langkah, cengangku tak tertahan. Dimana Bang Gatra? Dimana semua orang? Kenapa pintu terkunci? Apakah aku sudah terlambat?
Tiba-tiba aku teringat pesan singkat yang belum sempat terbaca. Buru-buru kuaktifkan kunci tombol. Satu panggilan tak terjawab dan satu pesan belum terbaca. Jempolku yang lumayan besar menekan tombol OK untuk perintah “baca”.
“Maaf Ali, tolong diamankan dulu motornya. Saya ada rapat dadakan, sekitar bada isya saya baru bisa ambil motornya. Terimakasih.” Terikirm 4 menit yang lalu.
Hks..
Aku masih lemas. Sekuat hati membangun kepercayaan diri, menghela nafas untuk memperbaiki keadaan. Dan tersenyum miris.

0 komentar:

Posting Komentar