Aku
dihadapkan dalam kebimbangan yang begitu besar. Andaikan saja
teman-teman ada yang bisa memberikan saran, maka apa kira-kira saran
dari mereka ya? Apakah aku harus mengikuti Fatimah? Karena mungkin ini
adalah kesempatan terakhir? Tapi, aku tidak enak dengan Bang Gatra? Dia
sudah menungguku terlalu lama. Padahal izinku meminjam motor tadi hanya
untuk membeli tali karet ban di sekitaran kampus. Astaga.
Semakin
lama aku berpikir, semakin jauh pula jarak kepergian Fatimah. Dia melaju
tidak terlalu cepat memang, aku perkirakan kalau itu bukan matic, baru
menginjak gigi kedua. Tapi aku yang hanya terdiam jelas tak dapat
menghasilkan solusi apapun. Pikiranku yang rumit mendadak dihentikan
oleh getaran. Tiba-tiba saja handphoneku kembali bergetar, disusul
dengan nada dering yang paling aku sukai, “Toreroreng...!!!
Toreroreng!!!”
Ternyata Bang Gatra kembali memanggilku. Sepertinya
inilah alasan terkuatku. Kehadiran mesin yang aku tunggangi ini telah
dinantikan oleh yang empunya motor. Aku urung mengangkatnya, agar si
penelepon yang tidak lain adalah Bang Gatra berpikir aku sedang di
perjalanan. Aku benar-benar tidak menjawab telepon, supaya Bang Gatra
berpikir aku sedang menuju ke tempatnya. Aku biarkan nada dering itu
berlalu, tanpa harus di-reject.
Fatimah kian menjauh.
Inilah
akhirnya, harus kusudahi. Gadis berkerudung syari dengan warna biru muda
itu sudah berbelok ke jalan raya, keluar dari lingkungan SPBU. Akankah
kisahku berakhir di SPBU ini? Kalaulah suratan kami akan bertemu
kembali, tak akan ada yang sanggup menghalangi pertemuan kami. Namun,
jika takdir berkata inilah perjumpaan terakhir, sebesar apapun usaha
takkan mampu mempertemukan kami.
Nada dering panggilan dari Bang
Gatra telah usai. Menyisakan laporan dilayar handphone bertuliskan “1
panggilan tak terjawab”. Aku harus menepati janji, tidak enak sudah
lama dinanti.
Perlahan kukendarai motor yang baru saja diisi ulang
tenaganya itu. Keluar dari lingkungan SPBU, masuk ke jalan raya
provinsi. Tiba-tiba saja aku merasa ada yang aneh. Aku baru sadar ada
sesuatu yang aneh. Aku pikir dengan keras, apa sebenarnya yang
mengganjal.
Ternyata betul. Kenapa tidak terpikir sejak tadi?
Astaga. Ternyata Fatimah tadi berbelok ke arah yang sama dengan jalan
pulang menuju kampus. Dan aku biarkan ia pergi begitu saja. Aku baru
sadar. Dia jelas-jelas berbelok ke arah kanan, yang artinya ke arah yang
sama denganku. Menyesal sekali baru sadar sekarang. Setelah cukup
menyesali kesadaran yang terlambat itu, segera kupacu motor Bang Gatra
untuk mengejar ketertinggalanku dari Fatimah. Jarak kami terhitung
belasan detik sudah. Kalau ini dalam persaingan Moto GP, jelas sudah
kelewat jauh. Beda sepersekian detik saja menghasilkan jarak yang nyata.
Tetapi beruntunglah, ini bukan pacuan Moto GP. Baru sekelas bebek.
Dengan lihai, aku balap dua motor di depanku, setelah sebelumnya aku
pamit kepada orang tersebut. Ternyata salah satu pengendaranya adalah
bapak-bapak yang memboncengi isterinya di SPBU tadi. Aku hanya tersenyum
singkat, merasakan betapa peristiwa-peristiwa yang baru saja kulalaui
ini begitu menakjubkan. Seperti cerita-cerita di film, novel, atau
cerita-cerita bersambung saja. Haha.
Aku kembali serius dengan
kemudi. Ada dua pengendara motor lagi di depan. Aku bisa melihat
pengemudi berkerudung biru muda di depan. Ia benar-benar mengarah ke
pintu masuk universitas. Ini kesempatan.
Satu detik, dua detik.
Aku berhasil memperkecil ketertinggalan. Jarak diantara kami hanya
belasan meter saja. Kami hampir sampai ke pintu gerbang universitas,
dengan posisi sementara Fatimah unggul 2,3 detik di depanku.
“Tiiin!”kembali ku pencet tombol berlambang terompet untuk izin membalap sepeda motor di depanku.
Lima puluh meter lagi! Kami hampir sampai. Dan akhirnya, aku mengurangi
kecepatan. Perlahan. Semakin lamban, dan berhenti. Tepat di pertigaan
gerbang universitas. Aku berhenti. Gundah. Fatimah ternyata melaju
terus. Sedangkan aku berada di titik puncak sebuah pilihan. Kalau aku
mengikutinya lagi, maka perjalananku mengembalikan motor pasti akan
berakhir. Sedangkan jika aku memilih mengembalikan motor, Fatimah kian
memperjauh jarak kami. Semakin jauh!
Dalam berhentiku, Fatimah terlihat memacu maticnya tanpa ragu.
Sejenak aku berpikir, tidak ada lagi keajaiban. Tinggal kebuntuan yang
mengharuskanku menentukan pilihan. Di detik-detik yang sunyi itu, sebuah
suara menggetarkan celanaku. Oh, ternyata handphoneku berdering. Sebuah
gelombang suara yang memberikan peringatan. Tapi kali ini berbeda.
Bukan lagunya Electric Light Orcestra, "Twillight". Karena lagu itu
hanya diperuntukkan sebagai peringatan panggilan. Sedangkan kali ini
musik yang berputar adalah Owl City dengan Vanilla Twillight-nya. Nada
peringatan untuk pesan.
Sebuah pesan yang hanya kuketahui
pengirimnya. Malas membuka. Pesan dari Bang Gatra. Nampaknya ia tak puas
dengan miss call-nya. Sebuah pesan terkirim untuk memperingatiku lebih
keras. Sebenarnya malas untuk membaca. Karena mau diperingati atau
tidak, aku tetap mengembalikan motor. Ini pilihan terakhir, sebab
Fatimah pun telah jauh tenggelam di balik tikungan. Maticnya menghilang
ditelan jarak. Tak sempat lagi mengejar. Karenanya, tak perlu diingatkan
lagi untuk pulang, aku pasti akan pulang.
Kupacu ulang motor Bang
Gatra mengarah ke kampus. Jalanan di kampus ini cukup menyenangkan.
Rindang dengan pepohonan, nyaman dengan pemandangan. Apalagi di kesorean
hari, semakin menambah suasana sepi. Kususuri aspal menuju ke
Sekretariat UKM, tempat dimana aku harus mengembalikan motor. Tempat
yang juga berdampingan dengan Masjid Universitas.
Hari ini lumayan
menyenangkan bukan? Aku bertemu dengan perempuan dari masa lalu. Hadir
dengan keteguhan hati dan keterjagaan diri. Begitu nyata mengemban
hikmah kalam ilahi. Sekali lagi ingin kutegaskan, bahwa dirinya
benar-benar layak mendapatkan pemimpin terbaik. Tidak sepertiku.
Astaga. Aku mulai lebai. Berharap-harap yang tidak-tidak.
Mengandai-andai yang bukan-bukan. Tapi dari kelebaian itu, aku belajar
merangkai makna.
Tak butuh waktu lama, sampailah aku di Masjid
Universitas. Sekitar dua jam yang lalu, aku meminjam motor Bang Gatra
disini. Murni dengan niat membeli tali karet ban, aku yakinkan Bang
Gatra untuk pengisian bensin. Hah, waktu begitu cepat berlalu. Keindahan
yang tak terduga sebelumnya, menghampiriku dengan begitu nyata. Antrian
SPBU yang mempertemukanku dengan perempuan dari masa lalu. Antrian SPBU
yang membuatku dibentak pemuda berwajah sangar. Antrian SPBU yang tak
memberi kesempatan untuk sekedar membalas sapaan. Antrian SPBU
benar-benar memberikan cerita berkesan padaku hari ini.
Tapi demi
tertepatinya sebuah janji, aku merelakannya pergi. Tanpa satu buah
pertanyaan pun yang kusampaikan. Apa kabarnya selama ini? Ada apa ia
sampai di kota ini? Semuanya sudah mengendap, tak tertuang.
Setelah
mengunci stang motor, aku bergegas menuju Sekretariat UKM untuk menemui
Bang Gatra. Dua tiga langkah, cengangku tak tertahan. Dimana Bang
Gatra? Dimana semua orang? Kenapa pintu terkunci? Apakah aku sudah
terlambat?
Tiba-tiba aku teringat pesan singkat yang belum sempat
terbaca. Buru-buru kuaktifkan kunci tombol. Satu panggilan tak terjawab
dan satu pesan belum terbaca. Jempolku yang lumayan besar menekan tombol
OK untuk perintah “baca”.
“Maaf Ali, tolong diamankan dulu
motornya. Saya ada rapat dadakan, sekitar bada isya saya baru bisa ambil
motornya. Terimakasih.” Terikirm 4 menit yang lalu.
Hks..
Aku masih lemas. Sekuat hati membangun kepercayaan diri, menghela nafas untuk memperbaiki keadaan. Dan tersenyum miris.
Jumat, 28 Maret 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar