Jumat, 28 Maret 2014

Cintaku Berakhir di SPBU - Part III

Standard

"Hhh?" Aku menggumam seolah tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.

"Mas Ali, kan? Ini aku, Fatimah."

Boom..!! Dua juta megaton tenaga nuklir meledak di jantungku. Meruntuhkan segenap kesadaranku. Suaranya tak lagi mampu ku dengar dengan begitu jelas. Terhambat oleh semerbak bunga dalam hayalku. Astaga, suara yang telah aku pasrahkan beberapa menit yang lalu, karena mungkin memang takkan pernah ku dengar, kini menyapaku dengan begitu jelasnya. Takdir yang telah kuikhlaskan berlalu pergi, kini berbalik seratus delapan puluh derajat.


Terasa menyakitkan sekali di hati. Bukan hanya karena aku tak mampu berkata apa-apa. Lebih dari itu, pertanyaannya begitu menyakitkan terdengar. Seolah aku adalah laki-laki yang begitu mudahnya melupakan seseorang.

Keheningan di tengah keramaian. Beberapa detik kami saling bersitatap, tapi Fatimah telah lebih dahulu menundukkan pandangannya. Hanya beberapa detik saja, karena di detik selanjutnya kami sudah ditegur oleh pengendara di belakang. "Hei, cepatlah!" seru seorang pemuda berwajah sangar di belakangku.

Aku sedikit gugup mendengar nada teguran yang baru saja terlempar ke arahku. Dengan sedikit gemetar, aku menunggangi motor Bang Gatra dan menyalakan mesinnya. Menyedihkan sekali, bahkan aku belum sempat menjawab sapaan sendu Fatimah.

Tak cukup jauh mengendarai, aku langsung memberhentikan motorku. Kuarahkan motorku ke antrian panjang di SPBU itu lagi. Kuperhatikan Fatimah juga sedikit gugup mendengar celotehan pedas pemuda yang kini di sampingnya menggantikan posisiku. Melihat wajah sangar itu seenaknya mengomel ke Fatimah, sontak membuat genggaman tanganku pada stang motor semakin kencang. Tak tahan aku ingin meneriakinya juga. Namun apalah daya ini.

Setidaknya sampai sejauh ini, aku sudah mendapatkan kabar gembira. Ternyata selama di antrian tadi Fatimah tidak menyadari kehadiranku. Tentu saja, siapa juga perempuan muslim yang cukup open (jawa : peduli) untuk memperhatikan laki-laki di sekitarnya. Aku saja yang terlalu berharap untuk mendapatkan pandangannya.

Sudahlah. Hal terpenting kali ini adalah bagaimana aku bisa memberdayakan momen yang sangat langka ini. Aku tidak ingin beraneka macam. Cukup dengan tahu bahwa dirinya tak melupakanku pun telah mengubah seisi kepalaku. Yang tadinya gersang penuh ilalang kepenatan, kini bersemi bunga seribu warna. Oh Tuhan, apa yang terjadi padaku kali ini?

Hhuuhh. Aku menghela nafas sebentar. Mempersiapkan kekata yang pas untuk diucapkan kepada Fatimah. Ini diluar dugaan, ternyata lebih sulit ketimbang menghadapi Dewan Juri dalam presentasi ilmiah. Tak dapat dipungkiri adanya debar kegugupan dalam hati. Tapi aku benar-benar tak mampu berhenti. Entahlah. Apakah aku akan terjatuh dalam jurang kesalahtingkahan lagi, ataukah aku dapat mengendalikan suasana. Yang penting, aku harus mendapatkan informasi atas keberadaannya di kota ini.

Kini rasa harap-harapku lebih tinggi dari sebelumnya. Semula aku hanya berharap dapat menyapa atau mendapatkan perhatiannya saja. Tapi kini, berjuta rasa penasaran yang tercampur dengan euforia masalalu membuatku berharap lebih. Aku ingin tahu alasan apa yang mengantarkannya ke tempat ini. Bahkan sampai-sampai di antrian SPBU yang aku sendiri saja jarang sekali mengantri (maklum tak punya kendaraan bermotor). Kedua, aku ingin tahu bagaimana kabarnya selama ini, tentu saja sebagai orang yang pernah mengenalnya dan lama tak bersua hal ini wajar untuk ditanyakan. Ketiga, aku ingin tahu apakah... oh tidak, ini belum tepat untuk ditanyakan sekarang. Pikiranku kembali kubuat rumit.

Saatnya telah tiba! Aku tak sabar menantikan kesempatan bertanya ini lebih lama lagi. Mbak-mbak petugas SPBU telah menerima uang pembayaran dari Fatimah. Pun demikian dengan Fatimah, ia cekatan menutup tangki bahan bakar, dan menutup joknya lebih singkat. Yang masih tak mengenakkan dilihat, pemuda berwajah sangar itu pun ikut sibuk dalam antrian. Merusak pandangan saja.

Ini dia saatnya. Sudah berbaris puluhan pertanyaan yang ingin aku sampaikan. Sudah berjajar ribuan tawa yang ingin aku tebarkan. Dan ini benar-benar terjadi, setelah bertahun-tahun aku tutup harapan itu. Setelah bayangan untuk bertemu kembali itu benar-benar terkubur. Kini tibalah saatnya masa kebangkitan.

Perlahan Fatimah menghidupkan motor maticnya. Dari kejauhan memang tak terlihat kaca mata yang dia kenakan. Hanya pertemuan di masalalu sajalah yang dapat memberikan informasi bahwa kacamata itu berjenis minus. Kacamata yang sejak kelas X ia kenakan akibat hobi membacanya yang akut. Tak kurang dari tiga novel untuk dihabiskan dalam seminggu. Lebih-lebih di hari libur. Ia bisa saja habiskan hidupnya dengan membaca buku.

Inilah detik-detik yang paling menegangkan dalam hidupku. Fatimah menghampiriku dengan perlahan. Arah pandangnya menunduk, mungkin malu karena insiden kecil di antrian tadi. Kalau mau diusut-usut, memang insiden tadi disebabkan oleh sapaan Fatimah. Tapi toh siapa yang peduli? Lebih penting menjawab sapaan dan mencecarnya dengan ribuan pertanyaan atas nama rindu.

Tiba-tiba handphoneku berdering dengan nada panggil yang lumayan loud. Berdering intro lagunya Electric Light Orcestra, the most favorite song, "Twillight"

Toreroreng..... Toreroreng.....

Fatimah berhenti dengan jarak yang cukup sopan. Pandangannya masih tertunduk, mempersilakanku untuk menjawab pesan.

Argh, kenapa di saat seperti ini, dengusku sebal. "Sebentar ya,"kataku kepada Fatimah yang jelas-jelas sudah mempersilakanku sejak tadi.

Sebentar saja, kupiki demikian. Masih banyak waktu untuk berbincang dengan Fatimah. Aku pun mengambil handphone dari saku celana kainku. Bang Gatra memanggil.

Astaga. Aku sudah membuatnya menunggu berjam-jam! Aku lupa!
Kegundahan ini mulai menyerang pikiranku. berkecamuk. Ada rasa bersalah yang tak ingin aku beritahukan di depan Fatimah. Apakah aku harus mengangkatnya? Kini mulai timbul kegelisahan antara mengangkat panggilan atau membiarkannya berlalu. Kulihat Fatimah mengangkat lengan kanannya yang terpasangkan jam hitam polos.

Aku memutuskan untuk mengangkatnya.
“Assalamualaikum, Bang!”
“Waalaikumsalam, Ali, dimana sekarang? Saya sudah mau pulang ini. Segera ke sekre ya. Sudah terlalu sore.”
“Iy yy ya, Bang. Mohon maaf terlambat. Mohon maaf Bang! Saya segera kesana”
“......”panggilannya terputus.
Rasa bersalah mulai menyelimuti perasaanku. Menyumbat saluran di jantung hati, sehingga terasa menyesakkan.
Tiba-tiba Fatimah memotong suasana bersalahku pada Bang Gatra. “Maaf Mas Ali, gara-gara saya Mas jadi dibentak. Mohon maaf sekali lagi Mas. Oh iya, saya duluan Mas, ada keperluan penting.”

“Kk.. eh?”gagapku dibuatnya. Bingung harus mengatakan apa.
“Fatimah?”sapaku ragu-ragu. Nampaknya panggilan terakhirku tidak didengarnya. Terlalu lirih, buyar oleh campur aduk perasaan. Fatimah segera menghidupkan motor maticnya kembali. Melaju dengan perlahan menuju pintu keluar SPBU. Berakhir. Sudah, inikah akhirnya?. Masih terlihat, begitu dekat. Tapi kerudung biru muda itu semakin menjauh.

Masih ada pilihan untukku. Aku ikuti kepulangannya. Masih benar-benar terkejar jika aku melakukannya. Tapi Bang Gatra? Astaga. Aku sudah mengatakan untuk mengembalikan motor segera.

0 komentar:

Posting Komentar