Namaku
Ali. Beruntunglah di kampus nama itu tidak begitu banyak dipakai orang.
Beda sekali dengan masa-masa sekolah di Madrasah Aliyah dulu. Nama Ali
dipakai oleh tiga punggawa kelas X-1. Ali yang benar-benar saya. Kedua,
Ali si ketua kelas. Ketiga, Ali Muhammad. Ketiganya tak mau mengalah
untuk melepaskan panggilan Ali, sampai suatu ketika terjadi peristiwa
mengerikan (sebenarnya tidak juga ngeri). Ibu Walikelas memanggilku
dengan panggilan "Ali", lantas aku, Ali Muhammad, dan Ali si ketua kelas
menjawab dengan kompak. Sontak, hal tersebut membuat seisi kelas
tertawa.
Kejadian sore ini, telah menghujani ingatanku dengan
tetes-tetes masalalu yang penuh kenangan. Peristiwa yang baru saja
terjadi, telah membuka kembali ingatanku di masa itu.
Aku masih ingat ketika pertama kali aku jatuh cinta.
Hari itu Senin, 30 Juli. Kami sekelas dalam masa-masa orientasi siswa.
Wajah baru, pakaian baru, teman-teman baru, tempat baru, dan semua yang
berbaru-baru.
Hey lihatlah, celanaku masih pendek. Haha, bukan
main malunya aku ketika teringat masa itu. Celana yang begitu ketat,
lima senti di atas lutut. Warna biru tua yang mencirikan pelajar SMP.
Aku masih belum diizinkan mengenakan seragam SMA yang abu-abu. Belum
juga dibagikan seragam khas milik Madrasah Aliyah Kota ini. Maka dengan
apa adanya aku ikuti masa paling menyedihkan selama tiga tahun itu. Masa
orientasi yang sudah terkotori dengan budaya-budaya perploncoan tak
mendidik. Tali rapia yang birulah, gelang karet yang ungu bercampur
hijau muda. Belum lagi harus mengenakan kaos kaki belang-belang sesuai
dengan warna kesukaan senior. Aduhay, masa yang paling berat ini harus
aku lalui selama tiga hari. Begitu menyakitkan. Tapi beruntunglah aku
tak sempat mencicipi permen relaxa yang telah dioper dari mulut ke mulut
lain. Nampaknya senior-senior itu tak cukup pandai mengelola jabatan
mereka. Ingin sekali aku melemparkan atribut ini di depan mata kepala
mereka. Tapi apalah daya ini, aku seorang diri. Ingatlah saja ketika aku
cukup kuat untuk berbicara, ketika kata-kataku kau dengarkan dan tak
bisa kau bantahkan dengan argumen mlempem. Aku insyaallah akan menjadi
orang pertama yang merubah perploncoan ini dengan tanganku. Ingat saja
itu.
Hari pertama terasa berat. Aku harus meminum dot bayi yang
telah berisi susu kecap manis. Ya. Benar-benar susu kecap manis,
perpaduan antara susu krim empat sendok makan dan kecap manis empat
sendok makan. Itulah peraturan pertama yang harus aku ikuti selama mos.
Tega sekali. Tega! Tak habis pikirku ketika memikirkan kenapa peraturan
konyol itu tidak diprotes oleh guru barang seorang pun. Sungguh tega!
Masih teringat dengan teman SMP-ku yang diterima di Madrasah Aliyah
ini, Iga Ristiyani. Ia harus beristirahat panjang di ruang UKS setelah
insiden meminum dot bayi yang berisi susu kecap manis tadi. Tidak lama
setelah senior memaksa meneguk minuman asem itu, Iga mengeluarkan semua
sarapan paginya lengkap dengan teh hangat yang bercampur aduk bersama
cairan lambungnya. Mengerikan.
Dan bagaimanakah nasibku?
Beruntunglah, aku masih bisa membujuk sarapanku agar lebih kerasan tetap
tinggal di dalam perut. Semangkuk gulai nangka dan tiga tempe bacem
yang sudah disediakan Mamak, begitu lahapnya aku makan tadi pagi. Tidak
tega jika aku harus mengeluarkannya lagi hanya karena satu sedot susu
kecap manis. Ibarat peribahasa, karena seteguk susu kecap manis, muntah
gulai nangka semangkuk utuh.
Aku tidak bisa sekonyong-konyong
memprotes peraturan itu. Maka dengan segenap akal sehat, yang mungkin
belum dimiliki senior-senior itu, aku harus merubahnya dengan kaki
tanganku sendiri, Hidup Siswa!
Alhamdulilah, selama ini aku
belum mendapatkan jatah hukuman dari para senior. Aku selamat dari
pantauan panitia MOS yang begitu 'belagu' (dapat pinjam istilah wong
dhuwuran).
Hari pertama, begitu lambat berlalu. Hari kedua,
masih lambat juga berlalu. Jam demi jam kulewati penuh harap. Menu
spesial di hari kedua adalah minuman empat warna. Apapun itu, peserta
MOS diwajibkan membawa minuman empat warna. Hari ketiga yang begitu
menyengsarakan. Menu spesial untuk kelulusan MOS, yaitu jamu temu ireng.
Naas. Dihari-hari terakhir, aku pikir dapat mulus begitu saja
melaluinya. Setelah dua hari terbebas dari jerat hukuman, karena memang
aku begitu rajinnya mempersiapkan semua atribut. Sebenarnya hanya malas
mendengarkan celotehan senior sok disiplin itu, makanya aku selalu ikuti
aturan main. Akhirnya, kena juga aku dihukumnya.
Naas, seolah
tak boleh ada satupun anak yang luput dari hukuman, mereka begitu
semangatnya mencari kesalahan. Alhasil, kenalah aku . Alasan yang tidak
masuk akal, mereka begitu memaksakan kesalahan yang tidak semestinya.
Senior yang tidak mendapatkan mata kuliah kedewasaan nampaknya. Oh iya,
kan mereka belum kuliah. Tambah lagi, mereka belum dewasa. Belum! Senior
yang seperti itu aku jamin dengan seluruh tabunganku, mereka sangat
kekanak-kanakan! memikirkan balas dendam, ya! Hanya balas dendam,
berusaha mengerjai adik-adiknya, sebisa mungkin mengerjai adik-adik
tingkat hanya untuk melampiaskan dendam mereka semasa MOS dulu.
Benar-benar tidak berprikesiswaan! Kalaulah mereka dewasa, tentu tidak
akan terpikir seperti itu. Dan kalau memang dendam kesumat itu harus
dilampiaskan, maka adik-adik tak bersalah itu tidak bisa dijadikan
tumbal! Balas kepada mereka yang telah mengerjai (kakak tingkat dulu).
Astaga, aku sampai naik pitam hanya karena memikirkannya saja.
Seorang senior menghampiriku, laki-laki. Mata sok hebatnya tak lelah mengarah kepadaku.
"Hey, kamu. Siapa nama kakak itu?"tanyanya menjurus padaku.
"Tidak tahu Kak, maaf."
"Kau ini bagaimana. Masa dengan kakaknya sendiri gak tahu. Makanya,
kenalan. Sekarang kamu dapat hukuman. Hahahahaha" (ups, ekspresi
terakhir sedikit didramatisir, tetapi tidak merusak esensi cerita, )
"Kok dihukum Kak? Kalau saya harus menghafal satu per satu butuh waktu lebih dari tiga hari Kak."
Singkat cerita, aku harus menghitung luas lapangan bola basket milik
sekolah. Astaga, ini bukan lapangan bola basket, ini lapangan upacara!
Ya, baru dua hari kemarin aku mengikuti upacara pembukaan MOS ini yang
secara langsung dibuka oleh Kepala Sekolah. Berapa luasnya kira-kira?
Bisa dibayangkan sendiri. Tetapi senior itu tak puas jika aku hanya
membayangkan luasnya saja. Aku harus mengukurnya dengan tanganku
sendiri. Benar-benar dengan tangan! Senior itu memerintahkan dengan
semena-mena, "Kau, hitung berapa jengkal keliling lapangan basket itu.
Ingat, gunakan jengkal tanganmu!"
Di saat yang melelahkan
seperti itu, aku ditemani oleh seorang murid baru juga. Mengenakan
atribut yang sama denganku juga, tetapi baru pertama kalinya aku
melihatnya. Dia berasal dari kelas yang sama denganku, sepuluh satu.
Terlihat begitu aktif, sering bertanya dan menjawab jika diperkenankan.
Nampaknya, ia begitu bersemangat dalam hal memimpin. Secara sukarela, ia
menawarkan diri sebagai kepala desa. Aku tidak begitu paham dengannya.
Tapi beberapa bulan selanjutnya, dialah yang menjadi saingan terberatku.
Bukan dalam hal prestasi. Tetapi dalam hal sebutan nama. Dia yang
begitu tegas, aku menjulukinya Ali si ketua kelas.
Aku masih
teringat, satu persatu teman-teman baru mengisi ruang di dalam kehidupan
SMA-ku. Mulai dari Ali si ketua kelas, Ali Muhammad yang tidak jago
tinju, sampai seseorang yang bakal menjadi sejarah besar dalam hidupku.
Ia yang sangat hobi dalam membaca, ditemani kacamata minus yang belum
terlalu parah, dan bukan kacamata untuk gaya-gaya. Jilbabnya yang
terlihat gagah, syar'i dengan tidak banyak variasi. Gigi gingsulnya yang
terlihat sesekali ketika tak kuasa menahan tawa. Astaga, ini berlebihan
sekali. Tak banyak yang boleh disampaikan untuk teman yang satu ini,
kecuali bahwa dia benar-benar terjaga. Dia dia dia. Dia yang pada
akhirnya akan kupanggil, "Fatimah".
***
Hari sudah
hampir maghrib. Tidak ada waktu untuk mengejar Fatimah, kalaupun
tersusul, aku pasti meninggalkan maghrib. Itupun kalau tersusul.
Aku hanya duduk diteras Masjid Universitas. Menyimak suasana sore yang
mulai menyusup ke peraduan. Menurunkan kegelapan dari setiap sudut
pengelihatan. Menyingsingkan terang, menyelimuti kegelapan. Huuuhhh, aku
hanya menghela nafas panjang. Menggenggam kontak motor dengan gantungan
bertuliskan "Saksikan, Bahwa Aku Seorang Aktivis Dakwah Kampus".
Tiba-tiba, handphoneku berdering sekali lagi. Muncul Owl City dengan
dendang kerinduannya "Vanilla Twilight". Sebuah nada dering untuk
memperingati ada pesan masuk. Seseorang yang ditunggu, mengirim pesan!
Jumat, 28 Maret 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar