Jumat, 28 Maret 2014

Cintaku Berakhir di SPBU - Part V

Standard
Namaku Ali. Beruntunglah di kampus nama itu tidak begitu banyak dipakai orang. Beda sekali dengan masa-masa sekolah di Madrasah Aliyah dulu. Nama Ali dipakai oleh tiga punggawa kelas X-1. Ali yang benar-benar saya. Kedua, Ali si ketua kelas. Ketiga, Ali Muhammad. Ketiganya tak mau mengalah untuk melepaskan panggilan Ali, sampai suatu ketika terjadi peristiwa mengerikan (sebenarnya tidak juga ngeri). Ibu Walikelas memanggilku dengan panggilan "Ali", lantas aku, Ali Muhammad, dan Ali si ketua kelas menjawab dengan kompak. Sontak, hal tersebut membuat seisi kelas tertawa.


Kejadian sore ini, telah menghujani ingatanku dengan tetes-tetes masalalu yang penuh kenangan. Peristiwa yang baru saja terjadi, telah membuka kembali ingatanku di masa itu.

Aku masih ingat ketika pertama kali aku jatuh cinta.

Hari itu Senin, 30 Juli. Kami sekelas dalam masa-masa orientasi siswa. Wajah baru, pakaian baru, teman-teman baru, tempat baru, dan semua yang berbaru-baru.

Hey lihatlah, celanaku masih pendek. Haha, bukan main malunya aku ketika teringat masa itu. Celana yang begitu ketat, lima senti di atas lutut. Warna biru tua yang mencirikan pelajar SMP. Aku masih belum diizinkan mengenakan seragam SMA yang abu-abu. Belum juga dibagikan seragam khas milik Madrasah Aliyah Kota ini. Maka dengan apa adanya aku ikuti masa paling menyedihkan selama tiga tahun itu. Masa orientasi yang sudah terkotori dengan budaya-budaya perploncoan tak mendidik. Tali rapia yang birulah, gelang karet yang ungu bercampur hijau muda. Belum lagi harus mengenakan kaos kaki belang-belang sesuai dengan warna kesukaan senior. Aduhay, masa yang paling berat ini harus aku lalui selama tiga hari. Begitu menyakitkan. Tapi beruntunglah aku tak sempat mencicipi permen relaxa yang telah dioper dari mulut ke mulut lain. Nampaknya senior-senior itu tak cukup pandai mengelola jabatan mereka. Ingin sekali aku melemparkan atribut ini di depan mata kepala mereka. Tapi apalah daya ini, aku seorang diri. Ingatlah saja ketika aku cukup kuat untuk berbicara, ketika kata-kataku kau dengarkan dan tak bisa kau bantahkan dengan argumen mlempem. Aku insyaallah akan menjadi orang pertama yang merubah perploncoan ini dengan tanganku. Ingat saja itu.

Hari pertama terasa berat. Aku harus meminum dot bayi yang telah berisi susu kecap manis. Ya. Benar-benar susu kecap manis, perpaduan antara susu krim empat sendok makan dan kecap manis empat sendok makan. Itulah peraturan pertama yang harus aku ikuti selama mos. Tega sekali. Tega! Tak habis pikirku ketika memikirkan kenapa peraturan konyol itu tidak diprotes oleh guru barang seorang pun. Sungguh tega!

Masih teringat dengan teman SMP-ku yang diterima di Madrasah Aliyah ini, Iga Ristiyani. Ia harus beristirahat panjang di ruang UKS setelah insiden meminum dot bayi yang berisi susu kecap manis tadi. Tidak lama setelah senior memaksa meneguk minuman asem itu, Iga mengeluarkan semua sarapan paginya lengkap dengan teh hangat yang bercampur aduk bersama cairan lambungnya. Mengerikan.

Dan bagaimanakah nasibku?
Beruntunglah, aku masih bisa membujuk sarapanku agar lebih kerasan tetap tinggal di dalam perut. Semangkuk gulai nangka dan tiga tempe bacem yang sudah disediakan Mamak, begitu lahapnya aku makan tadi pagi. Tidak tega jika aku harus mengeluarkannya lagi hanya karena satu sedot susu kecap manis. Ibarat peribahasa, karena seteguk susu kecap manis, muntah gulai nangka semangkuk utuh.

Aku tidak bisa sekonyong-konyong memprotes peraturan itu. Maka dengan segenap akal sehat, yang mungkin belum dimiliki senior-senior itu, aku harus merubahnya dengan kaki tanganku sendiri, Hidup Siswa!

Alhamdulilah, selama ini aku belum mendapatkan jatah hukuman dari para senior. Aku selamat dari pantauan panitia MOS yang begitu 'belagu' (dapat pinjam istilah wong dhuwuran).

Hari pertama, begitu lambat berlalu. Hari kedua, masih lambat juga berlalu. Jam demi jam kulewati penuh harap. Menu spesial di hari kedua adalah minuman empat warna. Apapun itu, peserta MOS diwajibkan membawa minuman empat warna. Hari ketiga yang begitu menyengsarakan. Menu spesial untuk kelulusan MOS, yaitu jamu temu ireng.

Naas. Dihari-hari terakhir, aku pikir dapat mulus begitu saja melaluinya. Setelah dua hari terbebas dari jerat hukuman, karena memang aku begitu rajinnya mempersiapkan semua atribut. Sebenarnya hanya malas mendengarkan celotehan senior sok disiplin itu, makanya aku selalu ikuti aturan main. Akhirnya, kena juga aku dihukumnya.

Naas, seolah tak boleh ada satupun anak yang luput dari hukuman, mereka begitu semangatnya mencari kesalahan. Alhasil, kenalah aku . Alasan yang tidak masuk akal, mereka begitu memaksakan kesalahan yang tidak semestinya. Senior yang tidak mendapatkan mata kuliah kedewasaan nampaknya. Oh iya, kan mereka belum kuliah. Tambah lagi, mereka belum dewasa. Belum! Senior yang seperti itu aku jamin dengan seluruh tabunganku, mereka sangat kekanak-kanakan! memikirkan balas dendam, ya! Hanya balas dendam, berusaha mengerjai adik-adiknya, sebisa mungkin mengerjai adik-adik tingkat hanya untuk melampiaskan dendam mereka semasa MOS dulu. Benar-benar tidak berprikesiswaan! Kalaulah mereka dewasa, tentu tidak akan terpikir seperti itu. Dan kalau memang dendam kesumat itu harus dilampiaskan, maka adik-adik tak bersalah itu tidak bisa dijadikan tumbal! Balas kepada mereka yang telah mengerjai (kakak tingkat dulu). Astaga, aku sampai naik pitam hanya karena memikirkannya saja.

Seorang senior menghampiriku, laki-laki. Mata sok hebatnya tak lelah mengarah kepadaku.

"Hey, kamu. Siapa nama kakak itu?"tanyanya menjurus padaku.
"Tidak tahu Kak, maaf."
"Kau ini bagaimana. Masa dengan kakaknya sendiri gak tahu. Makanya, kenalan. Sekarang kamu dapat hukuman. Hahahahaha" (ups, ekspresi terakhir sedikit didramatisir, tetapi tidak merusak esensi cerita, )

"Kok dihukum Kak? Kalau saya harus menghafal satu per satu butuh waktu lebih dari tiga hari Kak."

Singkat cerita, aku harus menghitung luas lapangan bola basket milik sekolah. Astaga, ini bukan lapangan bola basket, ini lapangan upacara! Ya, baru dua hari kemarin aku mengikuti upacara pembukaan MOS ini yang secara langsung dibuka oleh Kepala Sekolah. Berapa luasnya kira-kira? Bisa dibayangkan sendiri. Tetapi senior itu tak puas jika aku hanya membayangkan luasnya saja. Aku harus mengukurnya dengan tanganku sendiri. Benar-benar dengan tangan! Senior itu memerintahkan dengan semena-mena, "Kau, hitung berapa jengkal keliling lapangan basket itu. Ingat, gunakan jengkal tanganmu!"

Di saat yang melelahkan seperti itu, aku ditemani oleh seorang murid baru juga. Mengenakan atribut yang sama denganku juga, tetapi baru pertama kalinya aku melihatnya. Dia berasal dari kelas yang sama denganku, sepuluh satu. Terlihat begitu aktif, sering bertanya dan menjawab jika diperkenankan. Nampaknya, ia begitu bersemangat dalam hal memimpin. Secara sukarela, ia menawarkan diri sebagai kepala desa. Aku tidak begitu paham dengannya. Tapi beberapa bulan selanjutnya, dialah yang menjadi saingan terberatku. Bukan dalam hal prestasi. Tetapi dalam hal sebutan nama. Dia yang begitu tegas, aku menjulukinya Ali si ketua kelas.

Aku masih teringat, satu persatu teman-teman baru mengisi ruang di dalam kehidupan SMA-ku. Mulai dari Ali si ketua kelas, Ali Muhammad yang tidak jago tinju, sampai seseorang yang bakal menjadi sejarah besar dalam hidupku. Ia yang sangat hobi dalam membaca, ditemani kacamata minus yang belum terlalu parah, dan bukan kacamata untuk gaya-gaya. Jilbabnya yang terlihat gagah, syar'i dengan tidak banyak variasi. Gigi gingsulnya yang terlihat sesekali ketika tak kuasa menahan tawa. Astaga, ini berlebihan sekali. Tak banyak yang boleh disampaikan untuk teman yang satu ini, kecuali bahwa dia benar-benar terjaga. Dia dia dia. Dia yang pada akhirnya akan kupanggil, "Fatimah".

***




Hari sudah hampir maghrib. Tidak ada waktu untuk mengejar Fatimah, kalaupun tersusul, aku pasti meninggalkan maghrib. Itupun kalau tersusul.

Aku hanya duduk diteras Masjid Universitas. Menyimak suasana sore yang mulai menyusup ke peraduan. Menurunkan kegelapan dari setiap sudut pengelihatan. Menyingsingkan terang, menyelimuti kegelapan. Huuuhhh, aku hanya menghela nafas panjang. Menggenggam kontak motor dengan gantungan bertuliskan "Saksikan, Bahwa Aku Seorang Aktivis Dakwah Kampus".

Tiba-tiba, handphoneku berdering sekali lagi. Muncul Owl City dengan dendang kerinduannya "Vanilla Twilight". Sebuah nada dering untuk memperingati ada pesan masuk. Seseorang yang ditunggu, mengirim pesan!

0 komentar:

Posting Komentar