Jumat, 28 Maret 2014

Cintaku Berakhir di SPBU - Part I

Standard
Oleh : DC Julian

 


Sore ini mendadak aku ada keperluan membeli tali karet ban. Pengalaman terbaru selama lebih dari setahun tinggal di kota kecil ini. Meskipun bukan pengalaman yang "wah", namun tetap saja aku belum pernah melakukannya selama ini. Aku tahu keperluan ini memerlukan transportasi yang memadai. Bisa saja aku membeli tali karet ban di warung-warung dekat kampus, tapi toh tidak ada yang menjamin aku akan mendapatkannya. Maka untuk mengantisipasi, sekaligus ingin memanjakan diri di kesorean hari, kuniatkan meminjam sebuah sepeda motor.


Kebanyakan dari teman yang memiliki sepeda motor cukup percaya dalam hal pinjam meminjam. Ikatan hati di antara sesama teman tak memberikan kesempatan bagi prasangka buruk untuk singgah, walaupun sekedar untuk membisikkan "Bagaimana kalau dia berniat mencuri sepeda motormu?". Tidak pernah terpikir seburuk itu, aku yakin sekali seperti itu. Bermodal kepercayaan itu, aku meminjam salah satu sepeda motor yang terparkir di dekat Sekretariat UKM.

Sebelumnya perkenalkan, namaku Ali. Beruntung tak banyak yang menyandang nama tersebut di kampus. Berbeda sekali ketika masih Madrasah Aliyah dulu. Masih teringat jelas ketika wali kelas membagi-bagi jatah panggilan untuk kami bertiga (aku, Ali ketua kelas, dan Ali Muhammad yang sama-sama dipanggil Ali). Suatu ketika Ibu Wali memanggil Ali (saya), dan serempak Ali ketua kelas dan Ali Muhammad menjawab lantang. Tentu mengejutkan berbagai pihak. Haha. Sekilas terdengar lucu. Dari situlah Bu Wali berinisiatif membagi panggilan kami menjadi sedikit berbeda. Akhirnya, yang bertahan untuk menyandang panggilan Ali adalah diriku. Ali.

"Tapi motornya dalam kondisi berbahaya Mas Ali?"kata Bang Gatra seraya meminjamkan kontak motornya. Selepas itu, memasang senyum yang tak cukup sulit untuk diartikan.

"Yo yo, tak isikan bensinnya,"kataku menjawab senyuman palsu Bang Gatra. Barulah senyuman Bang Gatra berubah menjadi asli, tanpa unsur-unsur kepalsuan.

Niat awal membeli tali ban karet yang menjadi keperluan kos, namun apalah daya ketika kesempatan baik menjumpai. Tak boleh dilewatkan, senyumam jahat mulai menyeruak.

Sesorean berkeliling mengitari kota kecil ini, diiringi kemerduan senja sejauh mata memandang. Menyejukkan hati yang paham, nikmat Allah Subhanahuwataala yang tiada tergantikan. Masa muda, masa sehat, dan masa sempat.

Berkilo-kilo sudah kususuri pinggiran pantai. Matahari pun mulai beranjak turun ke pangkuan laut. Barulah kusadari, tak mungkin ada toko di pinggiran pantai seperti ini. Akhirnya, berbalik arah menuju kampus untuk mencari keperluan awal. Setelah hati terpuaskan oleh keindahan alam, keperluan pun tertunaikan (dengan membelinya di toko dekat kampus). Tibalah saatnya menunaikan kewajiban mengganti bensin yang telah terpakai untuk perjalanan panjang mencari tali karet ban.

Sesampainya di pintu masuk SPBU, hanya antrian yang kudapati. Berjajar empat berbanjar kendaraan roda dua. Dengan wajah lelah, petugas SPBU melanjutkan pekerjaan. Saya berada di sekitar lima belasan motor paling belakang. Masih ada empat belas motor yang mengantri di depan saya. Padahal, banjar yang saya pilih adalah banjar terpendek (menurut perkiraan).

Tak perlu menunggu lama, mesin motor kumatikan. Sepersekian detik setelah itu, sebuah sepeda motor berjenis matic berhenti tepat di banjar sebelah kanan. Namun ban depan sepeda motor yang saya pinjam jelaslah sedikit lebih di depan (berkat pemilihan banjar terpendek).

Aroma antrian tak pernah menyedapkan bagiku. Tak ada keinginan di antrian SPBU ini, selain untuk segera mengakhirinya dengan cepat. Satu menit berlalu, kejemuan mulai menghampiri. Kejemuan itulah yang mengantarkan pandanganku berkeliaran menyusuri aktivitas SPBU. Bapak-bapak yang memboncengi isterinya mengantri tepat di depanku. Berjarak 20 cm di depannya terlihat seorang mahasiswa dengan jaket Himpunan Mahasiswa berwarna merah marun, tertulis semboyan yang nikmat dipandang. Beranjak ke banjar selanjutnya, disebelah kanan saya ada seorang anak-anak yang mengenakan kaos Barcellona FC. Nomor punggung 30, entahlah siapa itu.

Pandanganku berhenti seketika. Sejenak langit-langit ku penuh dengan asap putih menyebalkan, melihat siapa seseorang yang mengantri di belakang bocah Barcellona tadi. Seseorang dengan motor jenis matic, di banjar sebelah kananku. Kalaulah banjar di antrianku maju, maka seseorang ini tertinggal setengah meter dariku. Namun tak lama setelah itu, giliran banjar mereka yang menyelesaikan satu antrian, sehingga seseorang di samping kananku, dengan motor maticnya, balik menyusul setengah meter.

Seseorang dengan jilbab besarnya yang biru muda, sarung tangan bercorak tiga warna, dan kaca mata minusnya. Seketika saya mengalihkan pandangan, kembali menatap bapak-bapak yang membonceng isterinya di depanku.

Astaghfirullah.

Hati ini tak pernah begitu meriah seperti saat ini. Syaraf sensorik mata mengantarkan impuls dengan resolusi paling tinggi. Sekujur tubuhku tak mampu digerakkan. Semua persendian menjadi berdecit. Terasa kaku. Setiap kali ada pergerakkan, seolah seluruh dunia sedang menatapku. Memaksaku untuk bergerak sesempurna mungkin untuk menghadirkan kesan menawan. Oh tuhan, apa yang terjadi padaku kali ini?

2 komentar: