Senin, 31 Maret 2014

Cintaku Berakhir di SPBU - Part VII

Standard
Kelas X.1 menjadi saksi kecemasanku hari ini. Aku kehilangan partner yang selama ini melengkapi kisah indah ini. Memperdebatkan tokoh-tokoh novel yang lebih keren, membincangkan kisah novel yang begitu dramatis, sampai menjago-jagokan tokoh terfavorit masing-masing.

Aku masih menunggu kedatangannya. Sepengetahuanku, yang memang sedikit berlebihan dalam memperhatikan Fatimah, bahwa selama ini ia tak pernah sekalipun terlambat. Apalah gerangan yang membuatnya kali ini terlambat. Kuyakin pintu gerbang sudah ditutup. Apakah ada yang terjadi dengannya? Perasaanku mulai tak menentu. Kalaulah aku bisa mengupdate apa yang sedang aku pikirkan di facebook, jelas banyak komentar yang menyudutkanku dengan frasa galau. Tapi beruntunglah aku tak selebay itu.

Guruku yang merangkap sebagai walikelas datang.
Hari ini pelajaran yang paling kusukai, terlebih guru pengajarnya adalah walikelas sendiri. Lebih berasa nyaman, dan mudah dipahami. Setibanya Bu Wali di kelas, serentak kami mengecilkan volume suara, sampai tak terdengar suatu apapun. Haha. Lebay dikit.

"Assalamualaikum" senyumnya menyapa seisi ruangan.
"Waalaikumsalam, Bu!" jawab kami kompak. Meskipun tidak sekompak biasanya. Kalau telinga ini dapat mendeteksi perubahan intensitas suara dengan sensitif, maka setidaknya jawaban kami kurang dua suara lagi dari kemarin. Ya. Dua orang belum hadir di kelas sehingga tidak menjawab salam. Salah satunya jelas yang aku nantikan, Fatimah. Tetapi yang satunya, ternyata adalah Nurul, yang sering juga ikut dalam agenda bedah buku bersama kami. Sebenarnya, Fatimah yang memaksanya untuk menemani kami, agar lebih berkesan nyaman alias tidak canggung.

"Ada yang tidak hadir, ya?" tanya Bu Wali.
"Ya, Bu. Nurul dan Fatimah belum kelihatan,"jawab salah satu murid perempuan yang duduk di bangku terdepan.
"Ada yang tahu dimana mereka?"
"Tidak tahu, Bu."

Aku hanya diam. Debar di jantung mulai meningkat. Novel "Tepat Waktu" yang ingin kami bahas hari ini masih kupegang erat-erat. Aku tidak ingin berpikir yang macam-macam atas keterlambatan ini. Berdoa saja tidak terjadi apa-apa. Memang benar, sudah setahun lebih ini mereka berdua tidak pernah terlambat. Inilah hari pertama mereka tak datang tepat waktu.

"Ali!"panggil Ibu Wali kelas kepadaku yang kedapatan melamun.
Seruan Bu Wali ternyata mengagetkanku dengan cukup lumayan.

"Ya Bu!"jawab kami serempak. Maksudku benar-benar kami. Aku yang benar-benar Ali yang dimaksud, Ali si Ketua Kelas, dan Ali Muhammad. Sontak seisi ruangan meriah dengan gelak tawa yang pecah.

"Hmm." Bu Wali menggeleng. "Yang Ibu maksud itu Ali" Bu Wali tersenyum.

"Ya saya kan juga Ali, Bu."Ali si Ketua Kelas menjawab, sekedar untuk melakukan pembelaan diri. Mukanya merah padam.

"Ya Bu, saya juga sama dengan Pak Ketua Kelas. Hehe" Ali Muhammad tertawa ringan.

"Ya, iya. Maafkan Ibu. Sekarang kita buat kesepakatan gimana?"Bu Wali menawarkan.

"Kesepakatan apa, Bu?"tanya Ali Muhammad yang sedikit kebingungan.
Beberapa menit kemudian, seisi kelas berembuk untuk menentukan panggilan Ali yang cocok untuk kami bertiga. Lumayan merepotkan, ada-ada saja. Saya tidak sepakat sebenarnya dengan ide ini, apalagi jika sampai aku yang harus merubah nama panggilan untuk kelas Bu Wali.
“Sepakat?”tanya Bu Wali.
“Sepakat Bu!”jawab teman-teman kompak. Kecuali Ali si Ketua Kelas dan Ali Muhammad. Nampaknya masih tersisa keterpaksaan di raut wajah mereka. Syukurlah, dalam konvensi kali ini aku memenangkan nama panggilan sebagai Ali. Dalam hati kutertawa jahat.

Konvensi pemilihan panggilan Ali itu cukup menghiburku sebenarnya. Namun dalam sepersekian detik selanjutnya, aku kembali dalam keterlamunan. Memikirkan kemana gerangan mereka berdua. Astaga, jerat ini semakin tak dapat kukendalikan. Pendar-pendar harapan bukan lagi pada aktivitas, kini nampak jelas yang kuharapkan selama ini hanyalah kehadirannya. Ya. Aku hanya mengharapkan kehadirannya, merenda pertemuan yang mengasyikkan. Astaga. Aku berpikir terus berulang kali, jadi selama ini yang kunantikan hanyalah pertemuan dengannya. Bukan bedah bukunya, bukan diskusinya. Hal ini baru kusadari saat terpikir, “tak apalah tak ada acara bedah buku, tak ada diskusi lagi, yang jelas hari ini datanglah saja.”

Hari-hari yang telah kami lewati bersama, “bukan berdua”, tapi bersama-sama teman lain mengukirkan kenangan. Masih kuingat pertama kali ia meminjamkan buku kepadaku. Tak kusangka ia langsung menghampiriku begitu saja. Meminjamkan buku seolah tanpa dosa. Aku pikir nenek lampir itu datang untuk menegurku yang mengarahkan perhatian terus kearahnya. Kalau itu benar terjadi, tak bisa kubayangkan betapa malunya diri ini. Ternyata ia meminjamkan buku yang menginspirasi baginya. Itulah momen sejarah yang tidak akan pernah kulupakan. Meskipun pada akhirnya, aku sangat malu lagi dibuatnya. Kau bisa menebak apa judul buku itu? “Jangan Melirik Bidadarinya Orang Ya Nak”. Aku tidak begitu sadar tentang apapun. Aku sudah terlebih dahulu terbang karena perbincangan singkat itu. Sekarang, ketika dipikirkan lebih ulang, aku hanya bisa tersenyum. Jelas, ia ingin menegurku. Itu maksudnya meminjamkan buku itu. Mungkin. Karena aku belum pernah menanyakannya secara langsung.


Seiring berlalunya siang dan malam, kutenggelamkan diri dalam buku. Sampai detik ini. Hanya untuk memantaskan diri berbicara dengannya. Mungkin itulah alasan yang masih bisa kupertahankan.
Terakhir, dalam kegalauan yang mendalam tentang kebersamaan. Aku masih ingat beberapa hari lalu. Dalam diskusi singkat kami tentang novel romantika yang populer kala itu. Kami meributkan seorang tokoh perempuan dalam novel itu. Aku yang mulai. Kujelaskan padanya, sang penulis begitu mahir memaparkan kecantikan sang tokoh perempuan dalam kisah tersebut. Fatimah setuju. Dan diskusi berjalan lancar, sampai tanpa sadar kusebutkan kalimat itu. Tapi aku hanya bercanda! Aku bisa pastikan itu, hanya sebuah percandaan. Apalah daya ini ketika canda yang tak dipikirkan dengan panjang berbuah petaka.
“Tapi sayang, alangkah lebih cantiknya tokoh itu kalau gak pakai kacamata. Hehehe.” Candaku hari itu. Tertawa sejenak tanpa ada yang ikut tertawa. Maka kuhentikan tawaku. Malu. Jelas sangat malu. Terlebih ketika raut wajah Fatimah yang berkacamata minus juga, berubah merah. Aku tak bisa membayangkan betapa kalimatku tadi dianggap serius oleh teman-teman lain. Demikian juga dengan Nurul, meskipun dia tak berkacamata, tapi tatapannya seolah menegurku keras. Apa salahku? Aku hanya bercanda! Serius, aku hanya bercanda! Tapi tak ada yang mau menganggapnya sebuah percandaan. Aku menelan ludah. Sebelumnya tak pernah kubuat kesalahan dalam diskusi ini. Nyaman saja, tapi kini. Semuanya buntu. Kesalahan besar mungkin telah kulakukan. Fatimah tidak lagi bersemangat melanjutkan diskusi.
Merasa bersalah adalah kelemahan yang tak dapat dipulihkan. Justru semakin sakit dibuatnya. Kubuat diriku sendiri termakan prasangka bahwa aku memang benar-benar layak untuk disalahkan. Dan memang aku layak untuk mendapatkan itu.

Tak banyak lagi yang bisa kupikirkan. Aku hanya mencoba memutuskan keheningan yang begitu menjerat leherku. Aku mencoba menanyakan sesuatu, tapi apa? Aku ingin mengatakan sesuatu, maaf, tapi tak berani. Lantas apa yang harus kulakukan?
Akhirnya, kulihat ada satu buku terbaru yang dibawa Fatimah. Sebuah novel berjudul “Tepat Waktu”. Aku mencoba mengalihkan suasana yang begitu canggung itu dengan meminjam novel itu. Seperti yang kukatakan, Fatimah tidak begitu saja meminjamkan. Dengan beberapa alasan, Fatimah tidak memberikan buku itu. Nurul tidak mau ikut campur. Tatapannya kini seolah mengatakan, “Maaf, aku gak bisa bantu.”

Kepalang tanggung. Aku sudah begitu bersalah dengan itu, malu dengan perkataanku tadi, dan kini justru dijerat oleh pinjam-meminjam yang alot. Kepalang tanggung. Akhirnya dengan muka memelas yang lumayan murni, kumohonkan lagi untuk dapat meminjamkannya. Akting ini cukup mampu mengalihkan suasana canggung akibat candaan kacamata tadi. Dan syukurlah, Fatimah meminjamkannya.
“Kita bahas tiga hari lagi ya!”pintaku kepada mereka.
“Aku tahu, kau tidak bercanda soal kacamata tadi. Dan aku juga sepakat kok, tokoh perempuan di novel itu akan lebih cantik tanpa kacamatanya. Meskipun kita tidak pernah melihatnya, hanya sekedar tulisan saja, tapi aku bisa menggambarkannya dengan jelas.” Fatimah tersenyum.

Kata-kata terakhir itu membuatku terdiam. Dia benar. Seratus persen benar. Aku tidak bercanda soal kacamata. Memang peristiwa keceplosan itulah justru yang paling murni tanpa kepalsuan yang direncanakan.
Kembali ke ruangan kelas. Bu Wali sudah memulai pelajarannya beberapa menit yang lalu. Aku tidak memperhatikan. Aku hanya mencemaskan dua orang yang belum hadir melengkapi ruangan kelas. Salah satunya adalah tokoh yang melengkapi kisah ini. Kemanakah mereka? Aku tidak pernah begitu mencemaskan orang lain seperti sekarang ini. Semakin kupikirkan, semakin teringat jelas rasa bersalah telah mengungkit perihal kacamata. Aku tidak pernah berniat untuk menyinggung siapapun, melukai siapapun. Tidak pernah!
Pukul 07.50. Sudah hampir satu jam pelajaran. Aku yakin mereka terlambat, atau tidak berangkat. Ah, artinya aku belum yakin akan dua hal itu. Masih sekedar menebak-nebak saja.

Pukul 07.50. Bu Wali memaparkan tentang pelajaran. Di kala itulah, pintu kelas kami terketuk. Seseorang mengetuk pintu kami pelan, ragu-ragu. Ketukan yang menggetarkan kayu-kayu pintu untuk menghasilkan gelombang longitudinal, sepersekian detik sudah tertangkap oleh gendang telingaku, memutuskan lamunan.

Dua orang yang dinantikan tiba! Ya! Aku ingin teriak sekencang-kencangnya! Alhamdulillah!
Benar-benar seperti dugaanku, dan doa-doaku. Mereka hanya terlambat.
Nurul yang mengetuk pintu kelas. Memohon izin untuk masuk. Bu Wali dengan ramah mempersilakan. Seseorang di belakang Nurul terlihat malu melangkahkan kaki. Setelah memberikan surat dari guru piket atas keterlambatan, Nurul memohon izin untuk duduk. Namun sesuatu yang tak terduga terjadi kala itu. Pemandangan yang tak pernah kudapati selama hidupku! Ya! Pertama kalinya. Dan membuatku semakin bertanya-tanya, ada apa gerangan?
Nurul melangkah ke arahku. Berbisik, “Softlens. Gara-gara kamu nih!”
Astaga. Aku benar-benar tidak mempercayai ini. Penampilannya yang mencerminkan tokoh perempuan di novel itu. Tokoh perempuan yang akan sangat cantik tanpa kacamatanya! Pagi ini, di tengah keterlambatan ini, di antara bisik-bisik kecemasan ini, untuk pertama kalinya, Fatimah melepaskan kacamatanya!
Fatimah melangkah menyusul Nurul. Jelas, ia melangkahkan kaki sedikit ragu. Kami sempat bersitatap, tapi sedetik kemudian ia memalingkan pandangan, mungkin karena malu. Fatimah seolah menghadirkan sosok perempuan dalam novel itu!
Sejenak kuhela nafas panjang. Pagi itu, seribu bunga bertebaran di ruangan kelas. Tak ada yang melihatnya, jelas. Kecuali aku yang sedang terjatuh. Terjerembab dalam harapan yang kian menjadi nyata! Sekali lagi kata-kata Nurul seolah menghujani bunga dalam hati, “Softlens! Gara-gara kamu nih!”

"Mungkinkah?"

0 komentar:

Posting Komentar