Kelas
X.1 menjadi saksi kecemasanku hari ini. Aku kehilangan partner yang
selama ini melengkapi kisah indah ini. Memperdebatkan tokoh-tokoh novel
yang lebih keren, membincangkan kisah novel yang begitu dramatis, sampai
menjago-jagokan tokoh terfavorit masing-masing.
Aku masih
menunggu kedatangannya. Sepengetahuanku, yang memang sedikit berlebihan
dalam memperhatikan Fatimah, bahwa selama ini ia tak pernah sekalipun
terlambat. Apalah gerangan yang membuatnya kali ini terlambat. Kuyakin
pintu gerbang sudah ditutup. Apakah ada yang terjadi dengannya?
Perasaanku mulai tak menentu. Kalaulah aku bisa mengupdate apa yang
sedang aku pikirkan di facebook, jelas banyak komentar yang
menyudutkanku dengan frasa galau. Tapi beruntunglah aku tak selebay itu.
Guruku yang merangkap sebagai walikelas datang.
Hari ini
pelajaran yang paling kusukai, terlebih guru pengajarnya adalah
walikelas sendiri. Lebih berasa nyaman, dan mudah dipahami. Setibanya Bu
Wali di kelas, serentak kami mengecilkan volume suara, sampai tak
terdengar suatu apapun. Haha. Lebay dikit.
"Assalamualaikum" senyumnya menyapa seisi ruangan.
"Waalaikumsalam, Bu!" jawab kami kompak. Meskipun tidak sekompak
biasanya. Kalau telinga ini dapat mendeteksi perubahan intensitas suara
dengan sensitif, maka setidaknya jawaban kami kurang dua suara lagi dari
kemarin. Ya. Dua orang belum hadir di kelas sehingga tidak menjawab
salam. Salah satunya jelas yang aku nantikan, Fatimah. Tetapi yang
satunya, ternyata adalah Nurul, yang sering juga ikut dalam agenda bedah
buku bersama kami. Sebenarnya, Fatimah yang memaksanya untuk menemani
kami, agar lebih berkesan nyaman alias tidak canggung.
"Ada yang tidak hadir, ya?" tanya Bu Wali.
"Ya, Bu. Nurul dan Fatimah belum kelihatan,"jawab salah satu murid perempuan yang duduk di bangku terdepan.
"Ada yang tahu dimana mereka?"
"Tidak tahu, Bu."
Aku hanya diam. Debar di jantung mulai meningkat. Novel "Tepat Waktu"
yang ingin kami bahas hari ini masih kupegang erat-erat. Aku tidak ingin
berpikir yang macam-macam atas keterlambatan ini. Berdoa saja tidak
terjadi apa-apa. Memang benar, sudah setahun lebih ini mereka berdua
tidak pernah terlambat. Inilah hari pertama mereka tak datang tepat
waktu.
"Ali!"panggil Ibu Wali kelas kepadaku yang kedapatan melamun.
Seruan Bu Wali ternyata mengagetkanku dengan cukup lumayan.
"Ya Bu!"jawab kami serempak. Maksudku benar-benar kami. Aku yang
benar-benar Ali yang dimaksud, Ali si Ketua Kelas, dan Ali Muhammad.
Sontak seisi ruangan meriah dengan gelak tawa yang pecah.
"Hmm." Bu Wali menggeleng. "Yang Ibu maksud itu Ali" Bu Wali tersenyum.
"Ya saya kan juga Ali, Bu."Ali si Ketua Kelas menjawab, sekedar untuk melakukan pembelaan diri. Mukanya merah padam.
"Ya Bu, saya juga sama dengan Pak Ketua Kelas. Hehe" Ali Muhammad tertawa ringan.
"Ya, iya. Maafkan Ibu. Sekarang kita buat kesepakatan gimana?"Bu Wali menawarkan.
"Kesepakatan apa, Bu?"tanya Ali Muhammad yang sedikit kebingungan.
Beberapa menit kemudian, seisi kelas berembuk untuk menentukan
panggilan Ali yang cocok untuk kami bertiga. Lumayan merepotkan, ada-ada
saja. Saya tidak sepakat sebenarnya dengan ide ini, apalagi jika sampai
aku yang harus merubah nama panggilan untuk kelas Bu Wali.
“Sepakat?”tanya Bu Wali.
“Sepakat Bu!”jawab teman-teman kompak. Kecuali Ali si Ketua Kelas dan
Ali Muhammad. Nampaknya masih tersisa keterpaksaan di raut wajah mereka.
Syukurlah, dalam konvensi kali ini aku memenangkan nama panggilan
sebagai Ali. Dalam hati kutertawa jahat.
Konvensi pemilihan
panggilan Ali itu cukup menghiburku sebenarnya. Namun dalam sepersekian
detik selanjutnya, aku kembali dalam keterlamunan. Memikirkan kemana
gerangan mereka berdua. Astaga, jerat ini semakin tak dapat
kukendalikan. Pendar-pendar harapan bukan lagi pada aktivitas, kini
nampak jelas yang kuharapkan selama ini hanyalah kehadirannya. Ya. Aku
hanya mengharapkan kehadirannya, merenda pertemuan yang mengasyikkan.
Astaga. Aku berpikir terus berulang kali, jadi selama ini yang
kunantikan hanyalah pertemuan dengannya. Bukan bedah bukunya, bukan
diskusinya. Hal ini baru kusadari saat terpikir, “tak apalah tak ada
acara bedah buku, tak ada diskusi lagi, yang jelas hari ini datanglah
saja.”
Hari-hari yang telah kami lewati bersama, “bukan
berdua”, tapi bersama-sama teman lain mengukirkan kenangan. Masih
kuingat pertama kali ia meminjamkan buku kepadaku. Tak kusangka ia
langsung menghampiriku begitu saja. Meminjamkan buku seolah tanpa dosa.
Aku pikir nenek lampir itu datang untuk menegurku yang mengarahkan
perhatian terus kearahnya. Kalau itu benar terjadi, tak bisa kubayangkan
betapa malunya diri ini. Ternyata ia meminjamkan buku yang
menginspirasi baginya. Itulah momen sejarah yang tidak akan pernah
kulupakan. Meskipun pada akhirnya, aku sangat malu lagi dibuatnya. Kau
bisa menebak apa judul buku itu? “Jangan Melirik Bidadarinya Orang Ya
Nak”. Aku tidak begitu sadar tentang apapun. Aku sudah terlebih dahulu
terbang karena perbincangan singkat itu. Sekarang, ketika dipikirkan
lebih ulang, aku hanya bisa tersenyum. Jelas, ia ingin menegurku. Itu
maksudnya meminjamkan buku itu. Mungkin. Karena aku belum pernah
menanyakannya secara langsung.
Seiring berlalunya siang
dan malam, kutenggelamkan diri dalam buku. Sampai detik ini. Hanya untuk
memantaskan diri berbicara dengannya. Mungkin itulah alasan yang masih
bisa kupertahankan.
Terakhir, dalam kegalauan yang mendalam
tentang kebersamaan. Aku masih ingat beberapa hari lalu. Dalam diskusi
singkat kami tentang novel romantika yang populer kala itu. Kami
meributkan seorang tokoh perempuan dalam novel itu. Aku yang mulai.
Kujelaskan padanya, sang penulis begitu mahir memaparkan kecantikan sang
tokoh perempuan dalam kisah tersebut. Fatimah setuju. Dan diskusi
berjalan lancar, sampai tanpa sadar kusebutkan kalimat itu. Tapi aku
hanya bercanda! Aku bisa pastikan itu, hanya sebuah percandaan. Apalah
daya ini ketika canda yang tak dipikirkan dengan panjang berbuah petaka.
“Tapi sayang, alangkah lebih cantiknya tokoh itu kalau gak pakai
kacamata. Hehehe.” Candaku hari itu. Tertawa sejenak tanpa ada yang ikut
tertawa. Maka kuhentikan tawaku. Malu. Jelas sangat malu. Terlebih
ketika raut wajah Fatimah yang berkacamata minus juga, berubah merah.
Aku tak bisa membayangkan betapa kalimatku tadi dianggap serius oleh
teman-teman lain. Demikian juga dengan Nurul, meskipun dia tak
berkacamata, tapi tatapannya seolah menegurku keras. Apa salahku? Aku
hanya bercanda! Serius, aku hanya bercanda! Tapi tak ada yang mau
menganggapnya sebuah percandaan. Aku menelan ludah. Sebelumnya tak
pernah kubuat kesalahan dalam diskusi ini. Nyaman saja, tapi kini.
Semuanya buntu. Kesalahan besar mungkin telah kulakukan. Fatimah tidak
lagi bersemangat melanjutkan diskusi.
Merasa bersalah adalah
kelemahan yang tak dapat dipulihkan. Justru semakin sakit dibuatnya.
Kubuat diriku sendiri termakan prasangka bahwa aku memang benar-benar
layak untuk disalahkan. Dan memang aku layak untuk mendapatkan itu.
Tak banyak lagi yang bisa kupikirkan. Aku hanya mencoba memutuskan
keheningan yang begitu menjerat leherku. Aku mencoba menanyakan sesuatu,
tapi apa? Aku ingin mengatakan sesuatu, maaf, tapi tak berani. Lantas
apa yang harus kulakukan?
Akhirnya, kulihat ada satu buku terbaru
yang dibawa Fatimah. Sebuah novel berjudul “Tepat Waktu”. Aku mencoba
mengalihkan suasana yang begitu canggung itu dengan meminjam novel itu.
Seperti yang kukatakan, Fatimah tidak begitu saja meminjamkan. Dengan
beberapa alasan, Fatimah tidak memberikan buku itu. Nurul tidak mau ikut
campur. Tatapannya kini seolah mengatakan, “Maaf, aku gak bisa bantu.”
Kepalang tanggung. Aku sudah begitu bersalah dengan itu, malu dengan
perkataanku tadi, dan kini justru dijerat oleh pinjam-meminjam yang
alot. Kepalang tanggung. Akhirnya dengan muka memelas yang lumayan
murni, kumohonkan lagi untuk dapat meminjamkannya. Akting ini cukup
mampu mengalihkan suasana canggung akibat candaan kacamata tadi. Dan
syukurlah, Fatimah meminjamkannya.
“Kita bahas tiga hari lagi ya!”pintaku kepada mereka.
“Aku tahu, kau tidak bercanda soal kacamata tadi. Dan aku juga sepakat
kok, tokoh perempuan di novel itu akan lebih cantik tanpa kacamatanya.
Meskipun kita tidak pernah melihatnya, hanya sekedar tulisan saja, tapi
aku bisa menggambarkannya dengan jelas.” Fatimah tersenyum.
Kata-kata terakhir itu membuatku terdiam. Dia benar. Seratus persen
benar. Aku tidak bercanda soal kacamata. Memang peristiwa keceplosan
itulah justru yang paling murni tanpa kepalsuan yang direncanakan.
Kembali ke ruangan kelas. Bu Wali sudah memulai pelajarannya beberapa
menit yang lalu. Aku tidak memperhatikan. Aku hanya mencemaskan dua
orang yang belum hadir melengkapi ruangan kelas. Salah satunya adalah
tokoh yang melengkapi kisah ini. Kemanakah mereka? Aku tidak pernah
begitu mencemaskan orang lain seperti sekarang ini. Semakin kupikirkan,
semakin teringat jelas rasa bersalah telah mengungkit perihal kacamata.
Aku tidak pernah berniat untuk menyinggung siapapun, melukai siapapun.
Tidak pernah!
Pukul 07.50. Sudah hampir satu jam pelajaran. Aku
yakin mereka terlambat, atau tidak berangkat. Ah, artinya aku belum
yakin akan dua hal itu. Masih sekedar menebak-nebak saja.
Pukul
07.50. Bu Wali memaparkan tentang pelajaran. Di kala itulah, pintu
kelas kami terketuk. Seseorang mengetuk pintu kami pelan, ragu-ragu.
Ketukan yang menggetarkan kayu-kayu pintu untuk menghasilkan gelombang
longitudinal, sepersekian detik sudah tertangkap oleh gendang telingaku,
memutuskan lamunan.
Dua orang yang dinantikan tiba! Ya! Aku ingin teriak sekencang-kencangnya! Alhamdulillah!
Benar-benar seperti dugaanku, dan doa-doaku. Mereka hanya terlambat.
Nurul yang mengetuk pintu kelas. Memohon izin untuk masuk. Bu Wali
dengan ramah mempersilakan. Seseorang di belakang Nurul terlihat malu
melangkahkan kaki. Setelah memberikan surat dari guru piket atas
keterlambatan, Nurul memohon izin untuk duduk. Namun sesuatu yang tak
terduga terjadi kala itu. Pemandangan yang tak pernah kudapati selama
hidupku! Ya! Pertama kalinya. Dan membuatku semakin bertanya-tanya, ada
apa gerangan?
Nurul melangkah ke arahku. Berbisik, “Softlens. Gara-gara kamu nih!”
Astaga. Aku benar-benar tidak mempercayai ini. Penampilannya yang
mencerminkan tokoh perempuan di novel itu. Tokoh perempuan yang akan
sangat cantik tanpa kacamatanya! Pagi ini, di tengah keterlambatan ini,
di antara bisik-bisik kecemasan ini, untuk pertama kalinya, Fatimah
melepaskan kacamatanya!
Fatimah melangkah menyusul Nurul. Jelas, ia
melangkahkan kaki sedikit ragu. Kami sempat bersitatap, tapi sedetik
kemudian ia memalingkan pandangan, mungkin karena malu. Fatimah seolah
menghadirkan sosok perempuan dalam novel itu!
Sejenak kuhela nafas
panjang. Pagi itu, seribu bunga bertebaran di ruangan kelas. Tak ada
yang melihatnya, jelas. Kecuali aku yang sedang terjatuh. Terjerembab
dalam harapan yang kian menjadi nyata! Sekali lagi kata-kata Nurul
seolah menghujani bunga dalam hati, “Softlens! Gara-gara kamu nih!”
"Mungkinkah?"
Senin, 31 Maret 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar